Aku sedang berada dikamar kosku yang baru saat aku menulis tulisan ini. Yupz, aku sudah 5 hari ini berada di kota sukabumi, jawa barat, dengan agenda utama adalah penelitian sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana. Aku menginap, kos lebih tepatnya, disebuah rumah milik seorang ibu paruh baya yang tidak jauh dari kantor dan laboratoriumku. Ibu kosku ini sangat baik sekali, dia selalu mengatakan agar aku bersikap seperti dirumah sendiri, dan tidak usah sungkan dengan apapun dirumah ini. Dia juga selalu bilang bahwa dia sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri. Lovely mother hah?yaa, aku rasa begitu. Ukuran kamar kosku ini lumayan kecil, lebih kecil dari kosku di Semarang. Dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu, jadi jangan heran setiap malam aku bisa mendengar dan merasakan aktifitas orang lain diseberang kamarku ini. Kamarku terletak dilantai dua, lantainya terbuat dari kayu, Jadi jangan heran kamu bisa mendengar dengan jelas hentakan kaki seseorang yang sedang berjalan diatas lantai itu. Satu hal yang masih membuatku kurang nyaman adalah cahaya lampu kamarku yang kurang terang, aku tidak tahu pasti berapa ukuran watt lampur kamarku ini, yang jelas, mataku lumayan sakit dibuatnya. Sepertinya aku harus segera menggantinya dengan yang lebih terang. Namun, aku sangat suka kamar kosku yang sederhana ini. Ditengah-tengah kesederhanaan kamar ini, aku teringat memoriku saat menginap di rumah seorang nenek di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pertengahan tahun lalu. Nuansa kosku ini mengingatkanku akan kondisi rumah kebanyakan orang suku Bajo di Wakatobi itu yang semuanya serba dari kayu. Aku pun semakin menyadari bahwa diriku ini ternyata lebih menyukai nuansa klasik, kuno, dan sederhana, dibandingkan nuansa yang terkesan mewah atau luxurious. Terbiasa hidup didesa soalnya si…hehe.
Malam tadi, setelah sholat maghrib, aku menonton televise dengan keluarga baruku ini dan kebetulan sedang ada upacara penutupan Sea Games ke-26 yang ditayangkan langsung dari Jakabaring Sport City (JSC) Palembang, Sumatera Selatan. Ada beberapa hal yang sangat menyentuh diriku, terutama dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para petinggi Negara ini tentang betapa bangga dan berterima kasihnya mereka kepada atlet, rakyat Indonesia, pejabat pemerintah, dan peserta Sea Games atas apa yang telah mereka lakukan. Kalimat dari Rita Subowo, selaku ketua KONI, yang aku ingat adalah ketika diakhir dia mengatakan “yeeeesss, terimakasih, akhirnya kita bisa!!!”. Sembari mengepalkan kedua tangganya dan tersenyum bangga kepada seluruh atlet Indonesia yang berdiri dilapangan.
Begitu juga dengan Andi Malarangeng selaku mentri pemuda dan olahraga yang mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh rakyat Indonesia, bahkan tanpa aku pikirkan sebelumnya dia mengucapkan terimakasih kepada tukang kayu, tukang las, tukang becak, dan beberapa jabatan rakyat kecil lainnya dalam pidatonya itu. Hemm, entahlah semoga itu tidak untuk pencitraan dirinya tapi murni lahir dari dalam hatinya, atau bahkan sekedar cari muka. Semoga tidak. Begitu juga wapres Boediono mengatakan hal yang sama dengan menyebutkan beberapa profesi rakyat jelata didepan ribuan orang yang hadir dalam acara itu. Menurutku, menyebutkan profesi yang dianggap sebagai profesi rakyat bawah tersebut adalah bagian dari pembangunan moral bangsa untuk menghargai masyarakat Indonesia yang masih kebanyakan hidup dalam keterbatasan.
Golongan profesi rendahan seperti itu pada umumnya sering dilupakan dalam setiap kali pidato kenegaraan yang secara resmi disampaikan oleh pimpinan Negara. Padahal kontribusi orang-orang dengan profesi (yang dianggap) rendah itu sangatlah vital, tanpa kehadiran dan bantuan mereka, sebuah acara besar baik itu acara nasional ataupun internasional tidak akan berhasil terselenggara. Sepertinya Andi Malarangeng telah mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang membantu terselenggaranya acara itu. Semoga kebiasaan untuk mengucapkan terimakasih, tidak hanya kepada pejabat tinggi, namun juga untuk seluruh golongan rakyat bawah seharusnya terus dilestarikan di Negara ini. Seperti saat presiden pertama RI berpidato didepan rakyat Jakarta, saat beliau kembali dari pemindahan kekuasaan sementara di Jogjakarta, kalau tidak salah pada sekitar tahun 1950, beliau pun mengucapkan nama-nama jabatan atau profesi kelas bawah didepan umum. Begitu juga pidato Soetomo, pahlawan nasional pengobar hari pahlawan di Surabaya, yang berteriak mengobarkan semangat perjuangan kepada golongan rakyat bawah dengan menyebut “tukang becak”, “tukang bakso”, dan beberapa profesi lain yang berdepan “tukang”. Aku cukup tersentuh dengan apa yang para pejabat tinggi Negara ini sampaikan diacara penutupan Sea Games 2011 ini.
Apalagi ditambah, Indonesia adalah juara umum turnamen ini. Aku sangat bangga terhadap atlet-atlet Indonesia yang telah berjuang keras menjadi juara untuk mengharumkan nama bangsa. Rasanya semakin bangga menjadi Negara Indonesia, itulah yang sepertinya ingin dibangun oleh bapak pendiri bangsa kita, bahwa kita harus bangga dan cinta Indonesia agar kita bisa membawa Negara ini menjadi Negara yang maju dan rakyatnya sejahtera, makmur, dan adil. Olahraga, menurutku, adalah bagian dari usaha untuk menumbuhkan patriotisme, perjuangan, dan nasionalisme kepada bangsa dan Negara. Olahraga sebagai salah satu sarana untuk menyatukan seluruh rakyat yang berbeda-beda ini dalam satu kesatuan yang harmoni. Nasionalisme, rasa cinta kepada bangsa Indonesia yang kemudian berujung pada keinginan untuk membebaskan Negara dan bangsa ini dari keterbelakangan, kebodohan, dan penindasan juga lah yang membuat para pendiri Negara ini, berani mempertaruhkan seluruh apa yang mereka punyai demi kejayaan bangsa dan Negara. Semangat itu yang dipunyai Soekarno muda saat menggelorakan semangat anti penjajahan pada tahun 1920an dengan resiko dipenjara, bahkan diasingkan hingga bertahun-tahun. Itulah nasionalisme, perasaan bangga dan cinta yang membawa semangat dan tindakan untuk memajukan negaranya.
Tapi seperti apa yang Soekarno katakan, bahwa nasionalisme harus tumbuh bersemi dalam tamansarinya internasionalisme, dan juga seperti sila ketiga pancasila yaitu persatuan Indonesia, yang konsepsinya adalah ada satu tujuan atau kepentingan yang lebih besar yang harus kita pikirkan dibandingkan dengan urusan personal, kedaerahan, atau malah ke-almamateran kita. Dalam pergaulan internasional, kita tidak bisa bersikap chauvinism, bahwa Negara kita adalah yang paling benar kemudian menyingkirkan peran penting Negara lain dalam menciptakan tata dunia yang lebih baik, adil, makmur, untuk seluruh manusia di planet ini. Begitu juga dalam pergaulan nasional, kita bicara nasionalisme, maka seharusnya tidak ada lagi chauvinism dalam bentuk apapaun, chauvinism suku, almamater, bahasa daerah, pulau, agama yang dapat mengkerdilkan kepentingan nasional yang lebih besar. Kenapa aku ingin menulis ini?karena, sering aku dengar cerita, bahwa hanya karena berbeda almamater, berbeda suku, dan perbedaan yang lain, kita sering mengesampingkan keberadaan orang lain dan lebih mengedepankan ego yang kita punya. Karenanya sering kepentingan nasional tergadaikan dengan sikap "nasionalisme" kita yang sangat sempit. Jika kita berbicara mengenai pembangunan nasional, maka seluruh rakyat Indonesia, tidak peduli dari jurusan apa, almamater apa, suku apapun itu, harus bergandeng tangan, bekerja sama memajukan Negara ini. Karakter seperti ini lah yang sering membuat manusia Indonesia sebatas terjebak dalam perdebatan sehari-hari tanpa ada solusi untuk menyelesaikan masalah. Akhirnya orang yang ada dilingkungan itu hanya akan berdiri pada zona nyaman tanpa berbuat sesuatu yang signifikan untuk mengentaskan Negara ini dari bermacam kebobrokan dan ketertinggalan. Itulah terkadang kejamnya dunia masyarakat sosial kita yang sesungguhnya. Karena itu, hilangkan chauvinisme berlebihan terhadap background hidup yang dapat membuat nasionalisme kita terabaikan. Pahami itu, karena barangkali tanpa sadar kita sering melakukannya.
Any way, setelah aku membaca website tentang program Indonesia Mengajar (IM), profil pengajar, dan tempat dimana mereka ditempatkan untuk mengajar anak-anak didaerah-daerah, membuatku mempunyai keinginan yang lumayan besar untuk mencoba mendaftar program itu. Aku adalah orang yang menyukai hal baru, menyukai traveling, dan bertemu orang banyak, membaca cerita para pengajar program IM mebuatku merasa tertantang dan nampaknya cocok untuk program itu. Mungkin satu kekurangku adalah kurangnya kesabaran dan ketelatenan dalam menangani anak-anak kecil^^. Aku ingin melihat Indonesia dari pulau yang jauh diujung timur, utara, selatan, atau barat Indonesia. Bertemu dengan anak-anak kecil yang bersemangat belajar. Aku sadar betul bahwa dalam membangun sebuah Negara besar, maka diperlukan orang-orang yang pintar dan berkarakter didalamnya. Karena itu pendidikan adalah salah satu kunci utama dalam membangun kemakmuran bangsa. Aku pun juga sepakat bahwa pendidikan adalah pintu gerbang menuju kesuksesan dan kemakmuran. Aku sedang membaca buku seorang ahli ekonomi ketururan India berkebangsaan Singapura yang mengatakan bahwa satu dari 8 kunci sukses barat dan US hingga menjadi peradaban yang maju, makmur, modern seperti sekarang adalah karena ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi tidak akan dikuasai tanpa adanya system pendidikan yang baik serta didukung oleh SDM yang mumpuni didalamnya.
Mengapa Jepang setelah kekaisaran Meiji memimpin pada akhir 1800-an mengirim beberapa pemuda pintarnya untuk belajar sekaligus mencari kunci kemajuan ke Eropa dan US dan kemudian segera meminta mereka kembali ke Jepang untuk membangun negaranya?karena alasan pendidikan. Kaisar Meiji sadar betul negaranya harus belajar dari Eropa dan Amerika. China dan India adalah dua Negara Asia yang pada abad 21 ini mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia. Bersama Taiwan dan korea selatan, kedua Negara tersebut adalah pengirim mahasiswa terbanyak untuk kuota mahasiswa asing di Amerika yaitu sebesar 89.700 dari 176.000. Negara-negara tersebut sadar betul bahwa pendidikan yang baik adalah investasi menuju bangsa yang maju. Karena itu setiap tahunngya beribu-ribu mahasiswa dikirim ke eropa dan amerika untuk belajar dan menyerap ilmu dan teknologi sebanyak-banyaknya dan kemudian pulang ke Negara asalnya lalu membangun negaranya sendiri.
Itulah yang terjai di India saat ini, bahwa para cendikiawan hasil produk pendidikan amerika dan eropa menjadi penggerak utama kemajuan Negara itu. Kalian sudah tahu betapa pesatnya pertumbuhan India. Begitu pula China, hongkong, dan korea selatan. Maka dari itu, pendidikan adalah factor yang sangat penting dalam menentukan arah bangsa ini. Jika seluruh rakyat Indonesia mempunyai akses yang besar, luas, dan merata terhadap pendidikan yang berkualitas, yang tidak hanya mendidik otak tapi juga hati serta fisik, maka masyarakat Negara ini secara pasti akan menapaki tangga modernitas, kemajuan, dan kemakmuran. Kemudian kesadaran para jenius Indonesia yang berada di luar negeri, terutama yang berhasil menyerap ilmu dari sumber peradaban dunia saat ini, untuk pulang ke Negara asalnya dan berkerjasama membangun negaranya tercinta ini. Semoga aku bisa mencoba berpartipisi dalam program IM, setidaknya jika aku belum bisa langsung melanjutkan kuliah masterku di luar negeri. Kemudian aku akan membangun negaraku setelah aku menyerap sumber-sumber positif dari kiblat modernitas bumi abad 21 ini, yakni Barat. Menurutku itu adalah bagian dari nasionalisme-ku, aku memang tidak bisa menjadi peraih medali emas Sea Games (aku bukan atlet, tapi cuma suka olahraga ^^), namun aku yakin, aku punya pikiran dan tenaga yang bisa aku berikan untuk memajukan bumi, tanah air Indonesia yakni negara yang mengedepankan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam setiap nafas aktifitasnya, menghargai hak manusia secara adil dan beradap, Indonesia yang bersatu, dan Indonesia yang menyejahterakan dan memakmurkan segenap rakyat Indonesia secara adil.
By: panca dias purnomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar