Ini adalah perasaanku
sedalamnya untuk seorang wanita juara satu seluruh dunia: Ibuku.
Sejak aku kecil, kau
memang tidak pernah duduk disebelah kasur tempat tidurku, mengusap kepalaku,
dan mengatakan "selamat tidur". Kecupan di kening pun tidak pernah
kau berikan untukku. Bahkan, mungkin, itu semua tidak pernah terpikirkan oleh
dirimu. Aku juga tidak pernah mendengarkan cerita dongeng beraneka rupa sebagai
pengantar tidurku. Kau juga tidak pernah duduk disebelah kursi belajarku dan
menjelaskan bagaimana menyelesaikan PR-PR ku.
Tahukah kau Ibu, dulu,
saat hari pengambilan raport tiba, aku sangat berharap kau datang ke sekolah
dengan pakain terbaik dan mengambilkan raport itu untukku. Namun tak sekalipun
engkau datang kesekolah untuk mengambilkan raport itu untukku. Aku cuma ingin
seperti teman-temanku yang raportnya diambilkan oleh ibu mereka. Cuma
itu.
Kau juga bukanlah tipe Ibu
yang sering mengucapkan selamat kepada anaknya jika berhasil menyelesaikan
sesuatu. Apalagi sebuah hadiah dan perayaan khusus. Kau juga jarang sekali
memberikan nasehat agar aku sukses di sekolah. Apalagi kata-kata motivasi.
Namun diluar itu semua,
kau membanting tulang setiap hari untuk kesuksesan anak-anakmu. Kau
bekerja tiada henti. Semangat dan kerja kerasmu menjadi pesan kepadaku untuk
selalu melakukan yang terbaik dengan sekolahku. Aku tahu, kau ingin anakmu juga
bekerja keras sepertimu. Kau ingin memberikan contoh kepada anak-anakmu untuk
senantiasa belajar sungguh-sungguh tanpa harus banyak memberi nasehat.
Semakin hari aku semakin
sadar, kau punya cara sendiri untuk mengunggapkan perhatian, cinta, kasih dan
sayangmu kepada anak-anakmu, juga kepadaku.
Maafkan aku Ibu, aku
terlambat menyadarinya.
Maafkan aku Ibu, aku
pernah berpikir lebih nyaman rasanya jika aku mempunyai Ibu seperti mereka,
yang menelfon dan bertanya kabar setiap hari. Tapi aku tahu, kau punya cara
tersendiri menunjukan kasih sayangmu. Aku semakin tahu itu dari isak tangis
yang aku dengar dari ujung telefon waktu itu. Seminggu setelah aku sampai di
sebuah negeri yang jauh, aku baru bisa menelfon rumah. Aku membutuhkan waktu
untuk mencari cara paling hemat menelfon. Saat aku ucapkan kata
"Assalamaualaikum, hallo?", bukan balasan salamku yang aku dengar
darimu, namun justru suara tangismu yang aku dengar. Aku sempat bingung dan
takut mengapa justru kau menangis. Setelah itu aku tahu, kau menangis bukan
karena sedih, namun kau menangis karena bahagia, sekaligus khawatir kepadaku.
Suara isakmu itu semakin membuatku sadar bahwa kasih sayangmu, perhatianmu, dan
doamu untukku tiada bandingan besarnya di bumi ini.
Maafkan aku Ibu, aku
salah, kau punya cara sendiri untuk menunjukan perhatianmu. Setiap aku dirumah,
kau tidak pernah luput bertanya tentang kebutuhan-kebutuhanku. Kau selalu
membuat makanan spesial setiap kali aku berada dirumah. Tidak lupa segelas susu
hangat setiap pagi kau buat untukku. Sering aku tertidur begitu saja tanpa
bantal dan selimut, dan sesering itu pula kau memasang selimut dan bantal
untuku. Saat aku terbangun, badanku sudah tertutup selimut hangat dan kepalaku
tersandar bantal empuk. Aku tahu, tiada yang lain selain kau, Ibu, yang
melakukan itu.
Saat berada dirumah, aku
sering bercerita tentang mimpi-mimpi dan cita-cita kepadamu. Kau pun selalu
dengan senang hati mendengarkan cerita-ceritaku. Memasang wajah hangat dan
penuh bahagia. Namun, setelah itu, kau pasti tidak pernah lupa mengatakan
tentang betapa takut dan sedihnya engkau bila seluruh anak-anakmu tiada satupun
yang menemani di rumah. Engkau mengatakan "bilamana semua anak-anak pergi
jauh sedangkan aku dirumah sendirian?". Semakin hari aku semakin sadar
perasaan mu dan alasan kenapa kau tiada henti mengatakan keresahanmu itu
kepadaku. Kau juga ingin perhatian dari anak-anakmu. Kau juga ingin saat hari
tuamu, anak-anakmu menemani dan mengasuhmu.
Maafkan aku Ibu akan
keegoisanku. Maafkan aku yang hanya selalu memikirkan masa depanku sendiri
tanpa memikirkan keinginanmu di hari tua. Aku berjanji, harapan dan keinginanmu
akan aku jadikan dasar dalam merajut mimpi-mimpiku.
Ibu, maafkan atas semua
sikap dan perilakuku yang sering membuatmu marah dan sedih. Maafkan aku yang
sering membandingkan mu dengan Ibu mereka. Maafkan aku Ibu. Aku cuma belum tahu
dan sadar karena hatiku tertutup dengan pembandingan-pembandingan sempitku itu.
Kau memberikan cinta, kasih sayang, perhatian dengan caramu sendiri. Kau Ibu
nomor satu di dunia. Aku bahagia dan bangga dilahirkan dari rahimmu, Ibu.
Ibu, semua yang sudah kau lakukan untukku tidak akan pernah mampu aku balas dengan cara apapun. Yang aku bisa, dan ijinkahlah aku, untuk membalasnya dengan cinta untukmu selamanya. Selamanya. Aku akan membuatmu selalu tersenyum bahagia.
Terimakasihku yang
terdalam untukmu, Ibu.
Indonesia, 26 Februari 2012
wah...wah...
BalasHapusterima kasih Ibu Indonesia, dunia, dan di manapun kalian berada..,
hangatnya kasih yang tak bisa diurai dengan kata-kata...
bagus, ca, lanjutkan!
;-D, Ibu: wanita nomor satu di dunia
BalasHapus