Ini adalah hari kedua aku berada
di desa ini. Tubuhku belum sepenuhnya menyesuaikan dengan waktu Indonesia
timur. Aku baru bisa tidur pukul 00.00 dan bangun pukul 06.00 pagi waktu
setempat. Saat ku tengok keluar rumah, rasa-rasanya mentari sudah terang sepagi
itu. Ada perbedaan sedikit antara banyaknya cahaya matahari disini dibandingkan
dengan bagian Indonesia barat pada jam yang sama.
Ku sambar handuk dan peralatan
mandi, kemudian bergegas menuju tempat mandi. Sebuah kotak kayu berukuran
sekitar 1,5x2 meter. Dindingnya terbuat dari kayu yang tersusun melintang
bersambung-sambung. Tampak lubang-lubang di beberapa sisi karena tidak rapatnya
sambungan. Dindingnya, jika aku berdiri, akan memperlihatkan setengah badanku. Saat
siang, atapnya adalah langit biru dan putihnya awan, sedangkan waktu malam
indahnya langit gelap dengan hiasan ribuan bintang. Alasnya adalah susunan rapi
batu-batu karang.
‘Kamar mandi’ ini berhimpitan dengan dinding rumah. Jika
berjongkok, akan terlihat kaki-kaki rumah dan batu-batu karang berserakan
diantara lumpur bakau. Rumah yang aku tempati sekarang ini adalah jenis rumah
panggung. Air laut akan menggenangi bagian bawah rumah dan sebagian dasar kamar mandi saat laut sedang pasang. Ada
sebuah tali yang menggantung diatas, ditalikan melintang di papan kayu. Tali
ini berguna untuk menggantungkan pakaiain atau handuk. Didalamnya, ada dua
ember terisi air dan sebuah gayung. Tidak ada kloset apalagi wastafel atau pun
cermin didalamnya. Kamar mandi ini
hanya kugunakan untuk membersihkan badan dan buang air kecil (ada cerita
sendiri tentang buang air besar). Pintu setengah badan juga terbuat dari papan
kayu dan pintu tersebut ‘dikunci’
menggunakan tali tambang yang diikat pada ujung paku.
Didalam kotak kayu, atau kamar mandi itu lah aku mandi. Emm,
bukan mandi mungkin, lebih tepatnya adalah membersihkan badan. Karena aku belum
berani mengguyur tubuh seluruhnya dengan air, maklum butuh perjuangan untuk
membawa air sampai ke kamar mandi.
Aku harus pandai berhemat air, jangan sampai sabunku belum tersapu bersih saat
air sudah tiada.
Aku teringat momen saat masih
menjalani masa pelatihan bersama Wanadri dan Kopassus. Aku membayangkan
saat-saat itu, yakni ketika mandi menjadi komoditas langka bahkan nyaris punah
bagi kami. Empat hari tanpa guyuran air mandi toh tak jadi soal waktu itu.
Begitu pula saat ini.
Terlebih sekarang, ini sudah jauh
lebih mewah dari saat-saat pelatihan dulu. Apalagi dapat sekedar menggosok
badan dengan air dan sabun, ahh rasanya cukup sudah. Gosok gigi, cuci muka,
membasahi rambut, leher dan tangan, itu semua bahkan lebih dari sekedar cukup. Asalkan
sudah bisa terlihat segar dipagi hari, mengguyur seluruh tubuh dengan air pun menjadi
tak terlalu perlu dalam kondisi seperti sekarang. Dan Itulah ternyata ritual
setiap pagi yang kulakukan disini. Jika saat waktu dan kondisinya tepat, baru
aku akan berpikir untuk mengguyur seluruh tubuh dengan air alias mandi (arti
sesungguhnya).
Acara bersih diri selesai sudah.
Aku beranjak menaiki anak tangga kayu. Berjalan sedikit berjinjit menuju kamar.
Berganti pakain, mengemasi barang
keperluan di sekolah, lalu keluar kamar. Dan pasti, diatas meja plastik kecil
yang terletak tepat diluar seberang kamarku ada segelas teh panas dan beberapa
potong kue. Keduanya akan membersamaiku hingga sekolah usai siang nanti. Teriakan
Ibu piaraku pasti terdengar setiap kali aku lupa menyantap hidangan itu. Bapak
piaraku terkadang pula menemani duduk sembari mengobrol tanpa arah.
Aku pakai sepatuku cepat, lalu
bergegas pergi sambil mengucap salam kepada Bapak Ibu piara. Aku lihat keatas,
ke langit. Mentari sudah cukup terik bersinar, menyilaukan. Desa masih sepi. Bau
segar udara dipagi hari merasuk hidung. Hijau dimana-mana. Belum banyak orang
terlihat. Beberapa anak kecil yang belum sekolah biasanya sudah berlari-larian
dijalan. Pagar kayu berjajar rapi dipinggir jalan. Beberapa ekor kambing
terkadang lewat begitu saja tanpa malu, menerobos pagar kayu itu. Terkadang ada
juga beberapa anjing yang masih tergeletak malas-malasan ditengah jalan. Aku
telusuri jalan desa beralas semen dan berlebar kurang lebih 1,5 meter itu untuk
menuju ke sekolah.
Anak-anak berseragam merah putih
yang aku lihat, akan aku minta mengiri langkahku ke sekolah. Jika sudah ada
yang menemaniku, biasanya akan banyak teman-temannya berjalan bersama-sama
dibelakangku. Sesekali aku kadang berpapasan dengan ibu atau bapak dan tak
hentinya pula aku tundukan kepalaku sedikit sembari memberi senyum terbaik
kepada mereka. “Pigi Pak?”, sapa
mereka dan kan kubalas ramah “Saya”. Kejadian yang sama juga akan aku alami
ketika pulang. “So pulang pak?”, dan
sama, aku jawab “Sayaaa” dengan senyum simetris terbaik yang kupunya.
Aku akan menanyakan banyak hal
kepada anak-anak ini. “Semalam belajar tidak?”. “Nanti ada pelajaran apa?”.
Akan ada satu atau dua orang yang aku pegang kepalanya dan aku tanyai ia.
Seperti biasa, mereka akan tersenyum malu-malu, menundukan kepala atau
terkadang menutup mulut menggunakan tangan sambil tersenyum. Suara lirih mereka
akan kudengar setelah beberapa kali aku ulang pertanyaan yang sama. Aku juga
harus menundukan kepalaku sedikit guna mendekatkan kupingku agar suara lirih
mereka terdengar. Mungkin belum terlalu kenal, jadinya mereka sedikit malu-malu
kepadaku.
Aku lewati beberapa belokan dan
tidak sampai 3 menit, aku tiba di sekolah, tempat aku mengajar dan belajar. SD
Negeri Waya, sekolah kecil satu-satunya disebuah desa kecil, dan tak pernah aku
bayangkan sebelumnya akan jadi pelabuhan hidup setelah aku lulus. Desa yang kan
jadi saksi perputaran hari-hari berhargaku disini. Bangunan kokoh berlantaikan
keramik putih dengan dinding bercat hijau itu pun kan jadi pengamat dalam
perjalanan waktuku disini.
Pagar kayu yang menyelimuti
bangunan itu tak kalah menyambutku. Seolah tersenyum ketika pintu pagar itu
berdenyit aku dorong. Tawa canda anak-anak berhamburan ditelingaku. Mereka
berlarian kesana kemari. Atau mereka yang bercengkrama sambil duduk-duduk
dibawah pohon besar dipojok lapangan sekolah. Anak-anak kecil ini nantinya
adalah bukti atas apa yang terus berganti dalam keseharianku ditempat ini.
Untuk semangat, keceriaan, canda
tawa, dan keluguan mereka, aku kan lewati masa ini. Asalkan semua itu ada
didiri mereka aku tak khawatir. Dan aku tahu pasti, semua anak didunia ini
punya semua sumber yang aku butuhkan untuk melewati waktu berharga ini. Melewati,
mengalami, sekaligus menjalaninya.
Tulisan berwarna di dinding ruang
guru pun selalu menyambutku setiap pagi. Tulisan itu begini: “Mendidik Adalah Tugas Kitorang Samua”. Siapa
pun yang menulis tulisan ini, ia hebat!. Satu kalimat ini menyemburkan energi
positif tiap kali aku memasuki pintu pagar sekolah. Ia berhasil menyelam masuk
kedalam hati dan menggugah hati nurani terdalam. Aku sadar bahwa aku sudah
masuk kedalam episode hidup yang lain. Hidupku kini sudah berbeda dan aku harap
perjalanan hidup kali ini akan jauh lebih berharga dari sebelumnya.
Semua itu, apa yang aku lihat,
dengar, cium, rasakan, seperti dapat membantu bangun pagiku terasa ceria,
membantu langkah kaki ke sekolah semakin ringan, dan itu pula yang memperkuat
kepercayaanku.
Aku disini, bukan karena
aku seorang guru, ingin menjadi guru, atau bahkan sekolah di keguruan. Mendidik
bukan hanya untuk guru, melainkan untuk aku, kamu, dan kita semua. Atau dalam
bahasa lain yang sering aku dengar di Indonesia Mengajar adalah “Mendidik
adalah tugas orang terdidik”. Hal yang biasa saja saat seorang anak manusia
melakukan tugas yang memang sudah semestinya dikerjakannya bukan?.
Akhirnnya .........................
Ternyata saat aku berada dihadapan anak-anak itu, segelas teh hangat
dan sepotong kue lebih dari cukup menahan suaraku tetap kuat hingga siang
menjelang nanti.
Tetap semangat!!!
Pengajar Muda V, Indonesia Mengajar
-Catatan Perjalanan Hidup-
Sabtu, 17 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar