Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Minggu, 25 November 2012

Sedikit Tentang Ritual-ku


Ini adalah hari kedua aku berada di desa ini. Tubuhku belum sepenuhnya menyesuaikan dengan waktu Indonesia timur. Aku baru bisa tidur pukul 00.00 dan bangun pukul 06.00 pagi waktu setempat. Saat ku tengok keluar rumah, rasa-rasanya mentari sudah terang sepagi itu. Ada perbedaan sedikit antara banyaknya cahaya matahari disini dibandingkan dengan bagian Indonesia barat pada jam yang sama.

Ku sambar handuk dan peralatan mandi, kemudian bergegas menuju tempat mandi. Sebuah kotak kayu berukuran sekitar 1,5x2 meter. Dindingnya terbuat dari kayu yang tersusun melintang bersambung-sambung. Tampak lubang-lubang di beberapa sisi karena tidak rapatnya sambungan. Dindingnya, jika aku berdiri, akan memperlihatkan setengah badanku. Saat siang, atapnya adalah langit biru dan putihnya awan, sedangkan waktu malam indahnya langit gelap dengan hiasan ribuan bintang. Alasnya adalah susunan rapi batu-batu karang.

‘Kamar mandi’ ini berhimpitan dengan dinding rumah. Jika berjongkok, akan terlihat kaki-kaki rumah dan batu-batu karang berserakan diantara lumpur bakau. Rumah yang aku tempati sekarang ini adalah jenis rumah panggung. Air laut akan menggenangi bagian bawah rumah dan sebagian dasar kamar mandi saat laut sedang pasang. Ada sebuah tali yang menggantung diatas, ditalikan melintang di papan kayu. Tali ini berguna untuk menggantungkan pakaiain atau handuk. Didalamnya, ada dua ember terisi air dan sebuah gayung. Tidak ada kloset apalagi wastafel atau pun cermin didalamnya. Kamar mandi ini hanya kugunakan untuk membersihkan badan dan buang air kecil (ada cerita sendiri tentang buang air besar). Pintu setengah badan juga terbuat dari papan kayu dan pintu tersebut ‘dikunci’ menggunakan tali tambang yang diikat pada ujung paku.


Didalam kotak kayu, atau kamar mandi itu lah aku mandi. Emm, bukan mandi mungkin, lebih tepatnya adalah membersihkan badan. Karena aku belum berani mengguyur tubuh seluruhnya dengan air, maklum butuh perjuangan untuk membawa air sampai ke kamar mandi. Aku harus pandai berhemat air, jangan sampai sabunku belum tersapu bersih saat air sudah tiada.

Aku teringat momen saat masih menjalani masa pelatihan bersama Wanadri dan Kopassus. Aku membayangkan saat-saat itu, yakni ketika mandi menjadi komoditas langka bahkan nyaris punah bagi kami. Empat hari tanpa guyuran air mandi toh tak jadi soal waktu itu. Begitu pula saat ini.

Terlebih sekarang, ini sudah jauh lebih mewah dari saat-saat pelatihan dulu. Apalagi dapat sekedar menggosok badan dengan air dan sabun, ahh rasanya cukup sudah. Gosok gigi, cuci muka, membasahi rambut, leher dan tangan, itu semua bahkan lebih dari sekedar cukup. Asalkan sudah bisa terlihat segar dipagi hari, mengguyur seluruh tubuh dengan air pun menjadi tak terlalu perlu dalam kondisi seperti sekarang. Dan Itulah ternyata ritual setiap pagi yang kulakukan disini. Jika saat waktu dan kondisinya tepat, baru aku akan berpikir untuk mengguyur seluruh tubuh dengan air alias mandi (arti sesungguhnya).

Acara bersih diri selesai sudah. Aku beranjak menaiki anak tangga kayu. Berjalan sedikit berjinjit menuju kamar.

Berganti pakain, mengemasi barang keperluan di sekolah, lalu keluar kamar. Dan pasti, diatas meja plastik kecil yang terletak tepat diluar seberang kamarku ada segelas teh panas dan beberapa potong kue. Keduanya akan membersamaiku hingga sekolah usai siang nanti. Teriakan Ibu piaraku pasti terdengar setiap kali aku lupa menyantap hidangan itu. Bapak piaraku terkadang pula menemani duduk sembari mengobrol tanpa arah.

Aku pakai sepatuku cepat, lalu bergegas pergi sambil mengucap salam kepada Bapak Ibu piara. Aku lihat keatas, ke langit. Mentari sudah cukup terik bersinar, menyilaukan. Desa masih sepi. Bau segar udara dipagi hari merasuk hidung. Hijau dimana-mana. Belum banyak orang terlihat. Beberapa anak kecil yang belum sekolah biasanya sudah berlari-larian dijalan. Pagar kayu berjajar rapi dipinggir jalan. Beberapa ekor kambing terkadang lewat begitu saja tanpa malu, menerobos pagar kayu itu. Terkadang ada juga beberapa anjing yang masih tergeletak malas-malasan ditengah jalan. Aku telusuri jalan desa beralas semen dan berlebar kurang lebih 1,5 meter itu untuk menuju ke sekolah.

Anak-anak berseragam merah putih yang aku lihat, akan aku minta mengiri langkahku ke sekolah. Jika sudah ada yang menemaniku, biasanya akan banyak teman-temannya berjalan bersama-sama dibelakangku. Sesekali aku kadang berpapasan dengan ibu atau bapak dan tak hentinya pula aku tundukan kepalaku sedikit sembari memberi senyum terbaik kepada mereka. “Pigi Pak?”, sapa mereka dan kan kubalas ramah “Saya”. Kejadian yang sama juga akan aku alami ketika pulang. “So pulang pak?”, dan sama, aku jawab “Sayaaa” dengan senyum simetris terbaik yang kupunya.

Aku akan menanyakan banyak hal kepada anak-anak ini. “Semalam belajar tidak?”. “Nanti ada pelajaran apa?”. Akan ada satu atau dua orang yang aku pegang kepalanya dan aku tanyai ia. Seperti biasa, mereka akan tersenyum malu-malu, menundukan kepala atau terkadang menutup mulut menggunakan tangan sambil tersenyum. Suara lirih mereka akan kudengar setelah beberapa kali aku ulang pertanyaan yang sama. Aku juga harus menundukan kepalaku sedikit guna mendekatkan kupingku agar suara lirih mereka terdengar. Mungkin belum terlalu kenal, jadinya mereka sedikit malu-malu kepadaku.

Aku lewati beberapa belokan dan tidak sampai 3 menit, aku tiba di sekolah, tempat aku mengajar dan belajar. SD Negeri Waya, sekolah kecil satu-satunya disebuah desa kecil, dan tak pernah aku bayangkan sebelumnya akan jadi pelabuhan hidup setelah aku lulus. Desa yang kan jadi saksi perputaran hari-hari berhargaku disini. Bangunan kokoh berlantaikan keramik putih dengan dinding bercat hijau itu pun kan jadi pengamat dalam perjalanan waktuku disini.

Pagar kayu yang menyelimuti bangunan itu tak kalah menyambutku. Seolah tersenyum ketika pintu pagar itu berdenyit aku dorong. Tawa canda anak-anak berhamburan ditelingaku. Mereka berlarian kesana kemari. Atau mereka yang bercengkrama sambil duduk-duduk dibawah pohon besar dipojok lapangan sekolah. Anak-anak kecil ini nantinya adalah bukti atas apa yang terus berganti dalam keseharianku ditempat ini.

Untuk semangat, keceriaan, canda tawa, dan keluguan mereka, aku kan lewati masa ini. Asalkan semua itu ada didiri mereka aku tak khawatir. Dan aku tahu pasti, semua anak didunia ini punya semua sumber yang aku butuhkan untuk melewati waktu berharga ini. Melewati, mengalami, sekaligus menjalaninya.

Tulisan berwarna di dinding ruang guru pun selalu menyambutku setiap pagi. Tulisan itu begini: “Mendidik Adalah Tugas Kitorang Samua”. Siapa pun yang menulis tulisan ini, ia hebat!. Satu kalimat ini menyemburkan energi positif tiap kali aku memasuki pintu pagar sekolah. Ia berhasil menyelam masuk kedalam hati dan menggugah hati nurani terdalam. Aku sadar bahwa aku sudah masuk kedalam episode hidup yang lain. Hidupku kini sudah berbeda dan aku harap perjalanan hidup kali ini akan jauh lebih berharga dari sebelumnya.

Semua itu, apa yang aku lihat, dengar, cium, rasakan, seperti dapat membantu bangun pagiku terasa ceria, membantu langkah kaki ke sekolah semakin ringan, dan itu pula yang memperkuat kepercayaanku.

Aku disini, bukan karena aku seorang guru, ingin menjadi guru, atau bahkan sekolah di keguruan. Mendidik bukan hanya untuk guru, melainkan untuk aku, kamu, dan kita semua. Atau dalam bahasa lain yang sering aku dengar di Indonesia Mengajar adalah “Mendidik adalah tugas orang terdidik”. Hal yang biasa saja saat seorang anak manusia melakukan tugas yang memang sudah semestinya dikerjakannya bukan?.

Akhirnnya .........................
Ternyata saat aku berada dihadapan anak-anak itu, segelas teh hangat dan sepotong kue lebih dari cukup menahan suaraku tetap kuat hingga siang menjelang nanti.  
Tetap semangat!!!

Pengajar Muda V, Indonesia Mengajar
-Catatan Perjalanan Hidup-
Sabtu, 17 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu