“Rotiiii Goreeeeeeennnggg!!”,
“Rotiiii Goreeeeeeennnggg!!”, “Kueeeeeeeeee!!”, “Cillooooookkkkkkk!!”,
“Ikaaaaaaaannnnnn!!”, “Kacang tumbuuuuuuu!!”. Suara teriakan anak-anak seperti
ini yang akan terdengar di desa ketika pagi hari sebelum jam masuk sekolah
maupun saat matahari mulai menjorok di ufuk barat. Fakta unik yang aku dapati
ini, membuatku berpikir rasa-rasanya anak-anak di desa ini mempunyai bakat menjadi
pedagang, sales, maupun wirausahawan handal suatu ketika kelak.
Belum genap satu bulan aku
disini, sehingga mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa aku sudah
mengenal semuanya. Namun, aku sudah mengenal beberapa fakta unik dalam masa study-ku di sekolah kehidupanku yang
masih sangat sebentar ini. Satu fakta unik dan menarik di Desa Waya adalah
tentang banyaknya marketer (sales) cilik, yakni anak-anak yang menjual makanan
di sekolah maupun menawarkannya berkeliling desa dengan berjalan kaki.
Mereka yang menjajakan makanan
ini umumnya adalah anak-anak usia sekolah. Mereka sering juga ditemani oleh
anak-anak kecil lain yang belum cukup umur untuk masuk SD (di Desa Waya belum
ada TK). Aku menemukan beberapa murid-muridku kelas 1-5 berjualan rutin
menjajakan makanan keliling desa. Anak-anak hebat ini membawa jajanan mereka
menggunakan box plastik kecil. Mereka
menenteng atau sesekali memanggulnya sambil meneriakkan nama makanan yang
mereka bawa. Mereka telusuri satu demi satu jalanan desa untuk menawarkan
makanan mereka kepada warga agar laku terbeli.
Anak-anak ini berjualan bahkan
sebelum mereka berangkat sekolah. Pukul 6 pagi Waktu Indonesia Timur, aku sudah
sering mendengar teriakan mereka bergema di jalan-jalan, meneriakkan roti bakar
atau lontong ikan. Mereka belum mengenakan pakaian sekolah pagi itu, bahkan
mungkin belum sempat mandi. Setelah waktu berangkat sekolah tiba, anak-anak akan
membawa jajanan mereka menuju sekolah. Ya, mereka berjualan di sekolah!. Jangan
bayangkan ada sebuah kantin di sekolahku yang berjajar menawarkan beraneka
makanan, ya karena memang tidak ada. Kantin sekolahku adalah anak-anak itu
sendiri. ‘Kantin berjalan’, aku namai saja begitu.
Jenis makanan di kantin berjalan
ini tidak kalah dengan kantin sekolah di kota-kota. Ada aneka snack ringan,
permen, roti, lontong, bakwan, dan es lilin. Mereka membawa box plastik mereka kemanapun mereka
pergi ketika di sekolah, seperti misalnya waktu bermain-main di lapangan maupun
ketika berada di kelas. Transaksi jual beli bisa terjadi dimana saja dan kapan
saja. Aku pernah sempat melihat ada yang bertransaksi saat aku masuk kembali di
kelas yang aku tinggalkan karena aku harus mengajar di kelas lainnya.
Untuk urusan makan jajanan itu
pun, awalnya bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Pada saat awal aku berada
disekolah, aku sering menemui anak-anak yang baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi makan jajan saat aku mengajar. Tentu saja kondisi seperti ini
membuat anak tidak berkonsentrasi menerima pelajaran. Aku pun mengambil
tindakan segera. Kemudian aku peringatkan seluruh kelas yang aku ajar, “Di
kelas itu hanya untuk apa anak-anak?”, tanyaku lantang kepada mereka. Serentak
mereka menjawab “Belajar!!”. “Jadi, kalau makan itu dimana?”, balasku lagi. “Di
luar kelas!!” jawab anak-anak. Perlahan, aku tidak lagi menemukan anak yang
makan jajan baik di kelas ataupun saat pelajaran berlangsung. Aku juga sering
mengingatkan anak-anak tentang hal ini ketika apel pagi dan siang.
Budaya anak-anak yang masih suka
membuang bungkus makanan juga aku temui disini. Meskipun sudah tersedia tempat
sampah, entahlah anak-anak masih saja “rajin” membuang sampah sembarangan. Aku
kembali mengingatkan anak-anak tentang hal ini baik pada saat mengajar di depan
kelas maupun ketika apel siang sebelum pulang. Lambat laun, aku lihat,
anak-anak mulai tertib dan mentaati, terutama ketika aku sendiri yang turun
tangan memungut bungkus-bungkus plastik yang berserakan dihalaman sekolah.
Tanpa disuruh, ternyata, anak-anak mengikuti apa yang aku lakukan. Sampah-sampah
plastik kini makin sulit ditemukan berceceran di sekolah.
Sekarang ini, anak-anak juga
sudah tahu meletakkan box plastik
berisi makanan mereka di bawah meja. Tidak di atas meja seperti diawal aku
berada di sekolah. Transaksi jual beli juga hanya terjadi jika bukan dalam
kondisi kegiatan belajar mengajar.
Kembali ke kantin berjalan. Aku
juga termasuk salah satu penghuni sekolah yang terbantu dengan adanya kantin
berjalan ini. Karena aku bisa mengganjal perut pada saat istirahat tiba dengan
membeli berbagai makanan yang dijual anak-anak. Lontong ikan adalah salah satu
kesukaanku, karena seumur-umur perasaan baru kali ini aku makan makanan ini.
Nasi berisi adonan daging ikan yang dibungkus dengan daun pisang. Lontong jenis
ini tidak direbus, melainkan dibakar. Rasanya?. Jangan ditanya, hemmm,
maknyuss, enak sekali.
Bermacam makanan yang di bawa
anak-anak dibuat oleh ibu maupun nenek mereka. Anak-anak kemudian lah yang
bertanggung jawab dalam hal pemasaran produknya. Kecil-kecil begitu, mereka
sudah mempraktekan langsung ilmu marketing yang dipelajari di kampus-kampus.
Tanpa mereka sadari, mereka telah
merampungkan satu mata kuliah berbobot 5 SKS. Aku ingat dulu ketika kuliah,
aktivitas menjual suatu produk sering dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai entrepreneurship kepada mahasiswa. Anak-anak
ini, bahkan, sudah berkenalan dengan nilai entrepreneurship
ketika mereka masih sangat belia.
Jika jajanan mereka tidak habis
disekolah, mereka akan menjualnya kembali di sore hari dengan berkeliling desa.
Meneriakkan nama makanan mereka dari jalan ke jalan ketika matahari sudah mulai
bersahabat dengan kulit. Makanan yang baru selesai dibikin oleh nenek atau ibu
mereka di siang hari juga akan ditawarkan berkeliling sore harinya. Sehabis
sekolah, sore hari, anak-anak penjual makanan keliling desa ini sudah melakukan
lebih dari apa yang diperintahkan gurunya; belajar. Dengan berjualan itu,
sejatinya mereka telah belajar tentang arti hidup yang sesungguhnya. Bahkan
mungkin, banyak anak-anak seusia mereka yang belum mengenal belajar tentang
hidup yang sesungguhnya. Mereka, anak-anak ini, mendapat bekal lebih nyata dari
sekedar bangku sekolah.
Terkadang aku iri dengan mereka,
karena aku belum pernah melakukan hal serupa ketika aku seusia mereka. Yang aku
tahu dulu, saat seperti mereka, adalah bermain dan menonton TV. Itu saja.
Sedangkan, anak-anak ini, mereka sudah tahu bagaimana proses perjuangan
memperoleh uang dan penghidupan. Mereka pasti akan tumbuh menjadi manusia yang
lebih kuat.
Suasana sore ini, didalam kamar,
kembali kudengar beberapa teriakan mereka menawarkan jajanan keliling kampung.
Suara itu sanyup terdengar dari kejauhan, dan perlahan semakin jelas. Ku ambil
uang dan bergegas keluar rumah memenuhi hasrat makan cemilan di sore hari
sekaligus ingin membantu mengurangi beban bawaan mereka ;-D.
Aku membayangkan, betapa
bahagianya mereka ketika box plastik
yang mereka bawa telah kosong. Mereka menggenggam gulungan uang di tangan lalu
masuk ke dalam rumah dengan disambut senyum bahagia ibu atau nenek mereka. Ahh,
betapa senangnya.
-Catatan Perjalanan Hidup-
Senin, 19 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar