Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Minggu, 25 November 2012

Wirausahawan Cilik



“Rotiiii Goreeeeeeennnggg!!”, “Rotiiii Goreeeeeeennnggg!!”, “Kueeeeeeeeee!!”, “Cillooooookkkkkkk!!”, “Ikaaaaaaaannnnnn!!”, “Kacang tumbuuuuuuu!!”. Suara teriakan anak-anak seperti ini yang akan terdengar di desa ketika pagi hari sebelum jam masuk sekolah maupun saat matahari mulai menjorok di ufuk barat. Fakta unik yang aku dapati ini, membuatku berpikir rasa-rasanya anak-anak di desa ini mempunyai bakat menjadi pedagang, sales, maupun wirausahawan handal suatu ketika kelak.

Belum genap satu bulan aku disini, sehingga mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa aku sudah mengenal semuanya. Namun, aku sudah mengenal beberapa fakta unik dalam masa study-ku di sekolah kehidupanku yang masih sangat sebentar ini. Satu fakta unik dan menarik di Desa Waya adalah tentang banyaknya marketer (sales) cilik, yakni anak-anak yang menjual makanan di sekolah maupun menawarkannya berkeliling desa dengan berjalan kaki.

Mereka yang menjajakan makanan ini umumnya adalah anak-anak usia sekolah. Mereka sering juga ditemani oleh anak-anak kecil lain yang belum cukup umur untuk masuk SD (di Desa Waya belum ada TK). Aku menemukan beberapa murid-muridku kelas 1-5 berjualan rutin menjajakan makanan keliling desa. Anak-anak hebat ini membawa jajanan mereka menggunakan box plastik kecil. Mereka menenteng atau sesekali memanggulnya sambil meneriakkan nama makanan yang mereka bawa. Mereka telusuri satu demi satu jalanan desa untuk menawarkan makanan mereka kepada warga agar laku terbeli.


Anak-anak ini berjualan bahkan sebelum mereka berangkat sekolah. Pukul 6 pagi Waktu Indonesia Timur, aku sudah sering mendengar teriakan mereka bergema di jalan-jalan, meneriakkan roti bakar atau lontong ikan. Mereka belum mengenakan pakaian sekolah pagi itu, bahkan mungkin belum sempat mandi. Setelah waktu berangkat sekolah tiba, anak-anak akan membawa jajanan mereka menuju sekolah. Ya, mereka berjualan di sekolah!. Jangan bayangkan ada sebuah kantin di sekolahku yang berjajar menawarkan beraneka makanan, ya karena memang tidak ada. Kantin sekolahku adalah anak-anak itu sendiri. ‘Kantin berjalan’, aku namai saja begitu.

Jenis makanan di kantin berjalan ini tidak kalah dengan kantin sekolah di kota-kota. Ada aneka snack ringan, permen, roti, lontong, bakwan, dan es lilin. Mereka membawa box plastik mereka kemanapun mereka pergi ketika di sekolah, seperti misalnya waktu bermain-main di lapangan maupun ketika berada di kelas. Transaksi jual beli bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Aku pernah sempat melihat ada yang bertransaksi saat aku masuk kembali di kelas yang aku tinggalkan karena aku harus mengajar di kelas lainnya.

Untuk urusan makan jajanan itu pun, awalnya bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Pada saat awal aku berada disekolah, aku sering menemui anak-anak yang baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi makan jajan saat aku mengajar. Tentu saja kondisi seperti ini membuat anak tidak berkonsentrasi menerima pelajaran. Aku pun mengambil tindakan segera. Kemudian aku peringatkan seluruh kelas yang aku ajar, “Di kelas itu hanya untuk apa anak-anak?”, tanyaku lantang kepada mereka. Serentak mereka menjawab “Belajar!!”. “Jadi, kalau makan itu dimana?”, balasku lagi. “Di luar kelas!!” jawab anak-anak. Perlahan, aku tidak lagi menemukan anak yang makan jajan baik di kelas ataupun saat pelajaran berlangsung. Aku juga sering mengingatkan anak-anak tentang hal ini ketika apel pagi dan siang.

Budaya anak-anak yang masih suka membuang bungkus makanan juga aku temui disini. Meskipun sudah tersedia tempat sampah, entahlah anak-anak masih saja “rajin” membuang sampah sembarangan. Aku kembali mengingatkan anak-anak tentang hal ini baik pada saat mengajar di depan kelas maupun ketika apel siang sebelum pulang. Lambat laun, aku lihat, anak-anak mulai tertib dan mentaati, terutama ketika aku sendiri yang turun tangan memungut bungkus-bungkus plastik yang berserakan dihalaman sekolah. Tanpa disuruh, ternyata, anak-anak mengikuti apa yang aku lakukan. Sampah-sampah plastik kini makin sulit ditemukan berceceran di sekolah.

Sekarang ini, anak-anak juga sudah tahu meletakkan box plastik berisi makanan mereka di bawah meja. Tidak di atas meja seperti diawal aku berada di sekolah. Transaksi jual beli juga hanya terjadi jika bukan dalam kondisi kegiatan belajar mengajar.

Kembali ke kantin berjalan. Aku juga termasuk salah satu penghuni sekolah yang terbantu dengan adanya kantin berjalan ini. Karena aku bisa mengganjal perut pada saat istirahat tiba dengan membeli berbagai makanan yang dijual anak-anak. Lontong ikan adalah salah satu kesukaanku, karena seumur-umur perasaan baru kali ini aku makan makanan ini. Nasi berisi adonan daging ikan yang dibungkus dengan daun pisang. Lontong jenis ini tidak direbus, melainkan dibakar. Rasanya?. Jangan ditanya, hemmm, maknyuss, enak sekali.

Bermacam makanan yang di bawa anak-anak dibuat oleh ibu maupun nenek mereka. Anak-anak kemudian lah yang bertanggung jawab dalam hal pemasaran produknya. Kecil-kecil begitu, mereka sudah mempraktekan langsung ilmu marketing yang dipelajari di kampus-kampus. Tanpa mereka sadari,  mereka telah merampungkan satu mata kuliah berbobot 5 SKS. Aku ingat dulu ketika kuliah, aktivitas menjual suatu produk sering dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai entrepreneurship kepada mahasiswa. Anak-anak ini, bahkan, sudah berkenalan dengan nilai entrepreneurship ketika mereka masih sangat belia.

Jika jajanan mereka tidak habis disekolah, mereka akan menjualnya kembali di sore hari dengan berkeliling desa. Meneriakkan nama makanan mereka dari jalan ke jalan ketika matahari sudah mulai bersahabat dengan kulit. Makanan yang baru selesai dibikin oleh nenek atau ibu mereka di siang hari juga akan ditawarkan berkeliling sore harinya. Sehabis sekolah, sore hari, anak-anak penjual makanan keliling desa ini sudah melakukan lebih dari apa yang diperintahkan gurunya; belajar. Dengan berjualan itu, sejatinya mereka telah belajar tentang arti hidup yang sesungguhnya. Bahkan mungkin, banyak anak-anak seusia mereka yang belum mengenal belajar tentang hidup yang sesungguhnya. Mereka, anak-anak ini, mendapat bekal lebih nyata dari sekedar bangku sekolah.

Terkadang aku iri dengan mereka, karena aku belum pernah melakukan hal serupa ketika aku seusia mereka. Yang aku tahu dulu, saat seperti mereka, adalah bermain dan menonton TV. Itu saja. Sedangkan, anak-anak ini, mereka sudah tahu bagaimana proses perjuangan memperoleh uang dan penghidupan. Mereka pasti akan tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat.

Suasana sore ini, didalam kamar, kembali kudengar beberapa teriakan mereka menawarkan jajanan keliling kampung. Suara itu sanyup terdengar dari kejauhan, dan perlahan semakin jelas. Ku ambil uang dan bergegas keluar rumah memenuhi hasrat makan cemilan di sore hari sekaligus ingin membantu mengurangi beban bawaan mereka ;-D.

Aku membayangkan, betapa bahagianya mereka ketika box plastik yang mereka bawa telah kosong. Mereka menggenggam gulungan uang di tangan lalu masuk ke dalam rumah dengan disambut senyum bahagia ibu atau nenek mereka. Ahh, betapa senangnya.

Pengajar Muda V, Indonesia Mengajar
-Catatan Perjalanan Hidup-
Senin, 19 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Ciri tim Solid - Bagaimana sebuah tim terbentuk? Bagaimana membuat tim menjadi solid? Bagaimana proses tahapan pembentukan tim hingga akhirnya tim dapat menjadi tim yang ku...
    1 minggu yang lalu