Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Minggu, 25 November 2012

Wujud Nyata Cinta

Anak-anak SD N Waya berjajar di dermaga desa saat mengantarkan kepulangan Pengajar Muda 3

Pagi itu (Kamis, 08 November 2012) Pak Udin, teman guru, menyampaikan kepadaku bahwa akan diadakan acara pisah sambut PM3 dan PM5 di sekolah. Aku baru saja tahu akan diadakan acara seperti itu, sangat mendadak pikirku. Tak lama berselang, beliau meminta seluruh siswa untuk memanggil perwakilan orangtua mereka ke sekolah untuk menghadiri acara itu. Seluruh siswa berkumpul setiap pagi untuk melakukan apel pagi, yang kucatat seharusnya pukul 07.30 WIT. Cukup dengan membunyikan lonceng didepan ruang guru, seluruh murid akan berkumpul sesuai kelas masing-masing. Disitulah Pak Udin mengumumkan undangan itu kepada seluruh siswa.

Jadilah seluruh siswa pulang untuk menyebarkan berita itu kepada orangtua mereka. Awalnya aku cukup terkesima dengan cara ini. Tanpa perlu undangan tertulis, dipagi dan hari itu juga, dengan mudahnya orangtua wali murid dikumpulkan disekolah. And it works!. Meski sangat terlambat, karena diundangan lisan yang disebarkan, orangtua murid diminta hadir pukul 08.30 WIT, namun acara baru dimulai pukul 10.00 WIT (setelah itu aku baru tahu jika kemoloran waktu yang begitu panjang itu sangatlah biasa).

Sibuklah aku, teman-teman guru, dan siswa kelas atas menyiapkan ruangan beserta meja dan kursinya. Meja dan kursi ditata berjajar didepan kelas, dan kursi berderet untuk tamu undangan.  


Perlahan-lahan orang tua murid berdatangan ke sekolah. Aku salami satu demi satu mereka sambil memperkenalkan diri. Ruang kelas 6 yang digunakan untuk acara pertemuan semakin terisi. Aku diminta duduk didepan bersama guru-guru, sekretaris desa, dan komite sekolah. Mbak Nurul (PM3) datang juga dan segera diminta duduk disebelahku.

Ruangan kecil itu akhirnya terisi penuh oleh orangtua wali murid. Kulihat semua nampak berbusana serapi mungkin, terutama ibu-ibu. Padahal, mungkin, saat dipanggil ke sekolah mereka sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Entah di ladang, di dermaga, atau pun dirumah. Luas Desa Waya tidaklah besar, rumah-rumah pun saling berdekatan. Jumlah keluarga di desa ini juga tidak terlalu banyak, karenanya mudah saja menyebarkan informasi kepada semua warga.

Akhirnya Pak Udin, sebagai MC, memulai acara. Perwakilan komite sekolah menyampaikan sepatah dua patah kata. Beliau menyampaikan terimakasih atas jasa Mbak Nurul yang telah mendidik anak-anak Desa Waya. Disusul kemudian oleh Bapak Sekretaris Desa. Ada satu kalimat dari Bapak Sekdes yang membuat aku sangat tersentuh waktu itu, kurang lebihnya adalah “Bapak Ibu, kitong tara bisa membalas semua jasa Ibu Nurul yang so kasih pintar anak kitorang samua. Karenanya, sebelum Ibu Nurul pulang ke Jawa, kitong kasih Ibu Nurul oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih. Kalau perlu, satu orang satu oleh-oleh. Setuju Bapak Ibu?”, seru beliau kepada seluruh hadirin yang ada. Serentak semua menjawab “Setujuuuuuuuuu!!!”. Aku merinding mendengar seruan mereka. Aku hanya bisa terkagum dalam hati, betapa masyarakat ini sangat menghargai apa yang telah Mbak Nurul lakukan di desa kecil ini; mengajar anak-anak.

Setelah itu giliran aku memperkenalkan diri. Aku sampaikan nama, asal daerah, sedikit tentang Indonesia Mengajar, dan empat bidang tugas Pengajar Muda. Aku juga sampaikan sedikit tentang arti pentingnya pendidikan dan tentang anak-anak sebagai masa depan bangsa, dipundak merekalah masa depan kita terbentang.

Tiba giliran Mbak Nurul menyampaikan kesan-pesannya. “Anak bapak ibu itu ibarat mutiara dalam kubangan lumpur. Mutiara itu hanya perlu dibersihkan dari kotornya lumpur, lalu digosok agar menjadi mutiara berkilauan. Tugas mendidik dan membuat anak pintar bukan tugas guru saja, melainkan tugas kitorang samua”. Beliau terlihat berkaca-kaca dengan suara tersendat-sendat ketika menyampaikan permohonan maaf dan ucapan ribuan terimakasih. Aku saksikan didepanku, terutama para Ibu, matanya juga berkaca-kaca dan mulai terlihat memerah. Aku pun terbawa, terenyuh oleh momen itu. Keberadaan Pengajar Muda di desa ini tidak hanya berarti sesuatu bagi si Pengajar Muda sendiri, melainkan bermakna pula bagi masyarakat. Kali ini, aku terhayut bukan lagi oleh cerita para Pengajar Muda di Buku Indonesia Mengajar 1 dan 2, melainkan wujud nyata dari sepenggal cerita mereka. Aku merasa beruntung bisa menyaksikan bentuk asli dari kisah Pengajar Muda didaerah tugasnya seperti ini.

Setelah acara diakhiri dengan doa, Pak Udin meminta masyarakat yang hadir untuk bersalaman dengan Mbak Nurul satu demi satu. Diawali oleh Ibu-Ibu, banjir air mata yang sesungguhnya di sekolah pagi itu pun dimulai. Mbak Nurul dan masyarakat berangkulan erat. Saling berpelukan satu sama lain. Kepala Mbak Nurul disandarkan dipundak setiap Ibu yang ia peluk. Disitu ia menangis sesenggukan sambil terdengar kata-katanya yang patah-patah. Ibu yang ia peluk pun, kulihat, tak kuasa membendung airmata, ia juga sesenggukan. Bahkan ibu-ibu yang menunggu giliran bersalaman pun sudah menitikkan air mata. Aku yang berdiri disamping mereka, terenyuh didalam hati. Ini asli, nyata, bukan lagi kisah untaian cerita yang kubaca di buku.

Setelah seluruh masyarakat selesai, giliran anak-anak bergiliran menyalami Mbak Nurul. Kali ini banjir air mata dan suara derai tangis makin menjadi. Anak-anak semua menangis. Aku pun sama, tak kuasa ku tahan, mataku telah basah menyaksikan peristiwa itu. Mengawali prosesi itu, anak-anak aku pandu menyanyikan lagu “Hymne guru”. Jadilah lagu itu dinyanyikan dengan suara sedu-sedan anak-anak. Bait demi bait lagu itu kunyanyikan bersama anak-anak, dan setiap kali masuk ke “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan.....”, air mataku mendorong keluar makin kuat. Beberapa kali aku harus mendongak keatas dan berhenti menyanyi sejenak untuk menguasai diri. Bayangan guru-guruku dulu semenjak TK pun terlintas di kepala. Betapa besar jasa mereka kepadaku. Lagu itu kami nyanyikan berulang-ulang untuk mengiringi prosesi perpisahan Mbak Nurul dengan murid-muridnya. Lagu yang kami senandungkan itu membawa perbedaan yang sangat kentara terhadap kekusyukun acara.

Kulihat Mbak Nurul merangkul erat anak-anak yang mendekatinya satu demi satu. Sambil jongkok, ia peluk mereka dan kudengar sayup-sayup ia berpesan “Rajin belajar ya nak”. Si anak yang dipeluk, terisak, menangis. Sesenggukan sambil mengangguk-angguk setiap kali Mbak Nurul selesai berucap. Aku tidak sedang menyaksikan drama, ini nyata, bisikku. Semua anak yang menunggu giliran bersalaman dengan Mbak Nurul basah pipinya, menangis. Ku lihat satu demi satu mimik muka mereka. Dan aku sadar, peristiwa seperti ini baru pertama kulihat sepanjang hidupku.

Kemudian, aku ajak lagi anak-anak beralih lagu ke “Terimakasih Guruku”. Lagu ini justru semakin menggoyahkan pertahananku untuk tidak meleleh. Bait “Guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis mengerti banyak hal, guruku terimakasihku.....” makin membawa sifat melankolisku ke titik yang lebih tinggi. Aku harus sering menatap ke atas, menahan air keluar dari mata, agar aku tetap dapat sadar diri. Lantunan lagu itu terus terdengar dari rongga suaraku dan juga anak-anak, meski mereka lebih larut dalam suara sesak tangisnya.

Air mata yang kusaksikan pagi itu adalah buah dari pohon cinta yang ditanam dan dirawat oleh seorang guru. Air mata cinta, air mata kasih, dan air mata ketulusan yang ditunjukan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, begitu juga dari murid-murid kepada guru yang mereka sayangi. Aku menjadi saksi bahwa ini adalah wujud dari kata yang dulu sering aku dengar “Mengajar lah dengan cinta”. Dan air mata yang bertebaran pagi itu adalah buktinya.

Jika dulu aku meleleh membaca kisah para Pengajar Muda dan murid-muridnya, sekarang aku meleleh menyakisakan episode real dari ujung perjalanan cerita Pengajar Muda yang sesungguhnya. Bukan lagi dari cerita yang kubaca di buku, video atau potongan foto-foto. Ini langsung dari tempat penugasan. Dan saat itulah cinta dan sayang mewujud dalam bentuk yang begitu terasa.

Bahkan sebelum akhirnya momen penuh air mata itu usai, semua anak-anak memeluk Mbak Nurul secara bersamaan didepan pintu ruang guru. Seorang guru dipeluk serentak oleh semua puluhan murid-muridnya. Mbak Nurul seperti tenggelam diantara kerumunan anak-anak. Suara isak tangis kembali meledak seantero sekolah. Episode yang sungguh mengharukan dan menyentuh.

Aku hanya bisa berdejak kagum dalam hati, dan mungkin ini ialah secuil makna kebahagiaan menjadi seorang Pengajar Muda. 

Pengajar Muda V, Indonesia Mengajar

-Catatan Perjalanan Hidup-

3 komentar:

  1. An juga suka dengan lagunya
    "“Guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis mengerti banyak hal, guruku terimakasihku.....”

    Kalo An buat artikel ini, judulnya An beri "Izinkan Aku Menangis karena Bahagia (part3)"
    *menyentuh

    BalasHapus
  2. Judul yg bagus an, ^^, part.3? ini kan cuma ada satu part an

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe.. maksudku, seandainya Aku yang buat cerita ini, aku kasih judul IAMKB part 3 (part sebelumnya udah ku buat, Ca) :D

      Hapus

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu