Anak-anak SD N Waya berjajar di dermaga desa saat mengantarkan kepulangan Pengajar Muda 3 |
Pagi itu (Kamis, 08 November
2012) Pak Udin, teman guru, menyampaikan kepadaku bahwa akan diadakan acara
pisah sambut PM3 dan PM5 di sekolah. Aku baru saja tahu akan diadakan acara
seperti itu, sangat mendadak pikirku. Tak lama berselang, beliau meminta
seluruh siswa untuk memanggil perwakilan orangtua mereka ke sekolah untuk
menghadiri acara itu. Seluruh siswa berkumpul setiap pagi untuk melakukan apel
pagi, yang kucatat seharusnya pukul 07.30 WIT. Cukup dengan membunyikan lonceng
didepan ruang guru, seluruh murid akan berkumpul sesuai kelas masing-masing. Disitulah
Pak Udin mengumumkan undangan itu kepada seluruh siswa.
Jadilah seluruh siswa pulang
untuk menyebarkan berita itu kepada orangtua mereka. Awalnya aku cukup
terkesima dengan cara ini. Tanpa perlu undangan tertulis, dipagi dan hari itu
juga, dengan mudahnya orangtua wali murid dikumpulkan disekolah. And it works!.
Meski sangat terlambat, karena diundangan lisan yang disebarkan, orangtua murid
diminta hadir pukul 08.30 WIT, namun acara baru dimulai pukul 10.00 WIT
(setelah itu aku baru tahu jika kemoloran waktu yang begitu panjang itu
sangatlah biasa).
Sibuklah aku, teman-teman guru,
dan siswa kelas atas menyiapkan ruangan beserta meja dan kursinya. Meja dan
kursi ditata berjajar didepan kelas, dan kursi berderet untuk tamu undangan.
Perlahan-lahan orang tua murid
berdatangan ke sekolah. Aku salami satu demi satu mereka sambil memperkenalkan
diri. Ruang kelas 6 yang digunakan untuk acara pertemuan semakin terisi. Aku
diminta duduk didepan bersama guru-guru, sekretaris desa, dan komite sekolah. Mbak
Nurul (PM3) datang juga dan segera diminta duduk disebelahku.
Ruangan kecil itu akhirnya terisi
penuh oleh orangtua wali murid. Kulihat semua nampak berbusana serapi mungkin,
terutama ibu-ibu. Padahal, mungkin, saat dipanggil ke sekolah mereka sedang
sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Entah di ladang, di dermaga, atau pun
dirumah. Luas Desa Waya tidaklah besar, rumah-rumah pun saling berdekatan. Jumlah
keluarga di desa ini juga tidak terlalu banyak, karenanya mudah saja menyebarkan
informasi kepada semua warga.
Akhirnya Pak Udin, sebagai MC, memulai
acara. Perwakilan komite sekolah menyampaikan sepatah dua patah kata. Beliau
menyampaikan terimakasih atas jasa Mbak Nurul yang telah mendidik anak-anak
Desa Waya. Disusul kemudian oleh Bapak Sekretaris Desa. Ada satu kalimat dari
Bapak Sekdes yang membuat aku sangat tersentuh waktu itu, kurang lebihnya
adalah “Bapak Ibu, kitong tara bisa
membalas semua jasa Ibu Nurul yang so
kasih pintar anak kitorang samua. Karenanya, sebelum Ibu Nurul
pulang ke Jawa, kitong kasih Ibu
Nurul oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih. Kalau perlu, satu orang satu
oleh-oleh. Setuju Bapak Ibu?”, seru beliau kepada seluruh hadirin yang ada.
Serentak semua menjawab “Setujuuuuuuuuu!!!”. Aku merinding mendengar seruan
mereka. Aku hanya bisa terkagum dalam hati, betapa masyarakat ini sangat
menghargai apa yang telah Mbak Nurul lakukan di desa kecil ini; mengajar
anak-anak.
Setelah itu giliran aku
memperkenalkan diri. Aku sampaikan nama, asal daerah, sedikit tentang Indonesia
Mengajar, dan empat bidang tugas Pengajar Muda. Aku juga sampaikan sedikit tentang
arti pentingnya pendidikan dan tentang anak-anak sebagai masa depan bangsa, dipundak
merekalah masa depan kita terbentang.
Tiba giliran Mbak Nurul
menyampaikan kesan-pesannya. “Anak bapak ibu itu ibarat mutiara dalam kubangan
lumpur. Mutiara itu hanya perlu dibersihkan dari kotornya lumpur, lalu digosok
agar menjadi mutiara berkilauan. Tugas mendidik dan membuat anak pintar bukan
tugas guru saja, melainkan tugas kitorang samua”. Beliau terlihat berkaca-kaca
dengan suara tersendat-sendat ketika menyampaikan permohonan maaf dan ucapan
ribuan terimakasih. Aku saksikan didepanku, terutama para Ibu, matanya juga
berkaca-kaca dan mulai terlihat memerah. Aku pun terbawa, terenyuh oleh momen
itu. Keberadaan Pengajar Muda di desa ini tidak hanya berarti sesuatu bagi si Pengajar
Muda sendiri, melainkan bermakna pula bagi masyarakat. Kali ini, aku terhayut
bukan lagi oleh cerita para Pengajar Muda di Buku Indonesia Mengajar 1 dan 2,
melainkan wujud nyata dari sepenggal cerita mereka. Aku merasa beruntung bisa
menyaksikan bentuk asli dari kisah Pengajar Muda didaerah tugasnya seperti ini.
Setelah acara diakhiri dengan
doa, Pak Udin meminta masyarakat yang hadir untuk bersalaman dengan Mbak Nurul
satu demi satu. Diawali oleh Ibu-Ibu, banjir air mata yang sesungguhnya di
sekolah pagi itu pun dimulai. Mbak Nurul dan masyarakat berangkulan erat. Saling
berpelukan satu sama lain. Kepala Mbak Nurul disandarkan dipundak setiap Ibu
yang ia peluk. Disitu ia menangis sesenggukan sambil terdengar kata-katanya
yang patah-patah. Ibu yang ia peluk pun, kulihat, tak kuasa membendung airmata,
ia juga sesenggukan. Bahkan ibu-ibu yang menunggu giliran bersalaman pun sudah
menitikkan air mata. Aku yang berdiri disamping mereka, terenyuh didalam hati.
Ini asli, nyata, bukan lagi kisah untaian cerita yang kubaca di buku.
Setelah seluruh masyarakat
selesai, giliran anak-anak bergiliran menyalami Mbak Nurul. Kali ini banjir air
mata dan suara derai tangis makin menjadi. Anak-anak semua menangis. Aku pun
sama, tak kuasa ku tahan, mataku telah basah menyaksikan peristiwa itu. Mengawali
prosesi itu, anak-anak aku pandu menyanyikan lagu “Hymne guru”. Jadilah lagu
itu dinyanyikan dengan suara sedu-sedan anak-anak. Bait demi bait lagu itu
kunyanyikan bersama anak-anak, dan setiap kali masuk ke “Engkau sebagai pelita
dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan.....”, air mataku
mendorong keluar makin kuat. Beberapa kali aku harus mendongak keatas dan
berhenti menyanyi sejenak untuk menguasai diri. Bayangan guru-guruku dulu
semenjak TK pun terlintas di kepala. Betapa
besar jasa mereka kepadaku. Lagu itu kami nyanyikan berulang-ulang untuk
mengiringi prosesi perpisahan Mbak Nurul dengan murid-muridnya. Lagu yang kami
senandungkan itu membawa perbedaan yang sangat kentara terhadap kekusyukun
acara.
Kulihat Mbak Nurul merangkul erat
anak-anak yang mendekatinya satu demi satu. Sambil jongkok, ia peluk mereka dan
kudengar sayup-sayup ia berpesan “Rajin belajar ya nak”. Si anak yang dipeluk,
terisak, menangis. Sesenggukan sambil mengangguk-angguk setiap kali Mbak Nurul
selesai berucap. Aku tidak sedang menyaksikan drama, ini nyata, bisikku. Semua
anak yang menunggu giliran bersalaman dengan Mbak Nurul basah pipinya,
menangis. Ku lihat satu demi satu mimik muka mereka. Dan aku sadar, peristiwa
seperti ini baru pertama kulihat sepanjang hidupku.
Kemudian, aku ajak lagi anak-anak
beralih lagu ke “Terimakasih Guruku”. Lagu ini justru semakin menggoyahkan
pertahananku untuk tidak meleleh. Bait “Guruku tersayang, guru tercinta,
tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis mengerti banyak hal, guruku
terimakasihku.....” makin membawa sifat melankolisku ke titik yang lebih
tinggi. Aku harus sering menatap ke atas, menahan air keluar dari mata, agar
aku tetap dapat sadar diri. Lantunan lagu itu terus terdengar dari rongga
suaraku dan juga anak-anak, meski mereka lebih larut dalam suara sesak
tangisnya.
Air mata yang kusaksikan pagi itu
adalah buah dari pohon cinta yang ditanam dan dirawat oleh seorang guru. Air
mata cinta, air mata kasih, dan air mata ketulusan yang ditunjukan oleh seorang
guru kepada murid-muridnya, begitu juga dari murid-murid kepada guru yang
mereka sayangi. Aku menjadi saksi bahwa ini adalah wujud dari kata yang dulu
sering aku dengar “Mengajar lah dengan cinta”. Dan air mata yang bertebaran
pagi itu adalah buktinya.
Jika dulu aku meleleh membaca
kisah para Pengajar Muda dan murid-muridnya, sekarang aku meleleh menyakisakan
episode real dari ujung perjalanan
cerita Pengajar Muda yang sesungguhnya. Bukan lagi dari cerita yang kubaca di buku,
video atau potongan foto-foto. Ini langsung dari tempat penugasan. Dan saat
itulah cinta dan sayang mewujud dalam bentuk yang begitu terasa.
Bahkan sebelum akhirnya momen
penuh air mata itu usai, semua anak-anak memeluk Mbak Nurul secara bersamaan
didepan pintu ruang guru. Seorang guru dipeluk serentak oleh semua puluhan
murid-muridnya. Mbak Nurul seperti tenggelam diantara kerumunan anak-anak.
Suara isak tangis kembali meledak seantero sekolah. Episode yang sungguh
mengharukan dan menyentuh.
Aku hanya bisa berdejak kagum
dalam hati, dan mungkin ini ialah secuil makna kebahagiaan menjadi seorang Pengajar
Muda.
Pengajar Muda V, Indonesia Mengajar
-Catatan Perjalanan Hidup-
An juga suka dengan lagunya
BalasHapus"“Guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis mengerti banyak hal, guruku terimakasihku.....”
Kalo An buat artikel ini, judulnya An beri "Izinkan Aku Menangis karena Bahagia (part3)"
*menyentuh
Judul yg bagus an, ^^, part.3? ini kan cuma ada satu part an
BalasHapushehe.. maksudku, seandainya Aku yang buat cerita ini, aku kasih judul IAMKB part 3 (part sebelumnya udah ku buat, Ca) :D
Hapus