Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Selasa, 19 Maret 2013

Mereka (Juga) Ingin Didengar


Sebagai seseorang yang baru saja terjun dalam dunia ajar mengajar, aku sering dibuat gemes, geli, dan heran dengan tingkah polah anak-anak muridku. Micro-teaching saat Direct Assesment atau pun ketika sudah di training intensif Indonesia Mengajar, belum membuatku percaya sepenuhnya jika kondisi kelas dan tingkah polah siswa di lokasi tugas akan seperti itu. Masak iya murid-murid akan seheboh itu ketika diajar?, pikirku. Meskipun tidak semua kondisi saat micro-teaching dulu terjadi, tapi aku sudah menemui peristiwa dimana aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah anak-anak. 

Pasti ada saja siswa di satu kelas yang bertingkah seperti saat latihan micro-teaching dulu (ya, meskipun tak separah murid di micro-teaching juga si, hehe). Mereka nyleneh, aneh, dan suka melakukan hal-hal yang berbeda. Tidak hanya dari sifat dan sikap mereka, tapi juga dari cara berpakaian. Mereka boleh dibilang murid yang 'out of the box', pendobrak kelaziman. Sejarah masa sekolahku pun membuktikan hal yang sama, bahwa di suatu sekolah pasti ada siswa yang tampil, tidak hanya fisik tapi juga sifat, beda.

Nah, dari pengamatanku, siswa-siswa seperti ini umumnya lebih suka berteman dan berkumpul dengan teman lainnya yang juga mempunyai kemiripan sifat dengan dirinya. Di kelas mereka lebih senang duduk bersebelahan. Saat istirahat mereka lebih suka bermain-main bersama. Ketika pulang, mereka berjalan dalam satu kelompok yang sama. Atau sepulang sekolah, mereka akan berpergian atau bermain bersama. Misalnya ke kebun, mengail, cari kelapa, dan main bola, semuanya dilakukan bersama. Ya, seperti geng gitu lah.
 

********
Memang, semua muridku berbeda. Potensi dan keahliannya juga berbeda. Mereka tidak akan bisa disama-samakan apalagi dibuat sama. Karena itu cara pendekatannya juga harus berbeda. 

Jaidin, Aswan, Latami, Arman, Alul, dan Irawan adalah sedikit contoh muridku yang tampil berbeda dibandingkan teman lainnya. Mereka adalah contoh muridku yang 'out of the box'.  Mereka satu geng. 

Pernah suatu ketika, saat apel siang sebelum pulang sekolah. Aku tidak melihat Jaidin, Irawan dan Alul di barisan. Aku tanyakan kepada teman-temannya yang lain. Seorang muridku bilang "Di sana pak?" sambil menunjuk belakang sekolah. Terdengar sayup-sayup suara mereka yang sedang asik bernyanyi. Bernyanyi dibelakang sekolah saat yang lainnya sedang apel siang?. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. 

Murid-muridku ini pun dulunya adalah yang paling rajin bolos dan tidak mengerjakan PR (sekarang sudah lebih baik). Ketika pelajaran sedang berlangsung, Jaidin, Aswan, dan Arman suka sekali berbicara. Sangat aktif. Ssaking aktifnya, ketika aku sedang menjelaskan mereka masih saja berbicara sendiri. Atau saat aku meminta semua murid mengerjakan latihan, mereka justru asik menggambar di buku. Juga, aku ingin mengajarkan kerapian kepada muridku. Dan mereka adalah murid yang paling sering aku minta untuk memasukan baju kedalam celana. Mereka memang suka nyleneh.

Tapi disisi lain, mereka adalah anak yang sangat percaya diri. Ketika aku membagi peran drama, misalnya. Mereka selalu ingin tampil dan berani berbicara di depan kelas. Ketika latihan upacara bendera hari Sabtu dan aku tanya siapa yang mau jadi pemimpin regu dan pemimpin pasukan, pasti anak-anakku ini mengajukan diri. Aku senang melihat keaktifan dan tingginya kepercayaan diri mereka. Oh ya, mereka ini juga adalah tim inti sepak bola sekolahku. Tanpa kehadiran mereka, aku tidak yakin tim sepakbola sekolahku bisa menang melawan sekolah lain. Mereka jawara bermain sepakbola.

********
Awalnya, menangani anak seperti ini, cukup menguras emosi. Aku tidak ingin memarahi mereka, karena aku sadar betul bahwa mereka ini adalah segelintir contoh anak yang punya keunikan. Aku memberitahu mereka baik-baik, meskipun terkadang saking herannya aku hanya bisa terdiam dan geleng-geleng kepala saja.

Perlahan tapi pasti, momen untuk berdekatan dengan anak-anak super ini datang juga. Selain aku sering bermain bola dengan mereka saat istirahat atau sepulang sekolah, aku juga berusaha untuk sering membersamai mereka. Aku percaya, kedekatan emosional diantara guru dan murid akan melipatgandakan kepatuhan murid kepada gurunya ketika di kelas atau sekolah. Aku ingin dekat dengan mereka, sekaligus ingin mengetahui lebih dalam bagaimana kebiasaan dan karakter mereka. 

Pernah suatu ketika, geng ini berencana memetik buah jambu di hutan. Seketika aku tahu, aku bilang aku ingin ikut. "Jangan pak, nanti pak lelah" kata mereka. "Tarada, bapak so (sudah) biasa jalan kaki kong" balasku meyakinkan mereka. Akhirnya, mereka mengijinkan aku ikut. Aku berjalan menuju hutan bersama anak-anak ini. Selama perjalanan, aku mendengar mereka saling bercanda, terkadang aku juga membuat lelucon. Kami tertawa bersama. Kami mengobrol tentang banyak hal. Hingga Alul, muridku yang terkenal nyleneh, berkata "Nanti, kitorang (kami) kasih gora (jambu) paling manis buat Pak Panca". Aku cukup kaget. Ya, aku terharu. 

Sesampainya di pohon jambu, Jaidin dan Latami dengan sangat antusias memanjat kemudian memetik buah jambu itu. Mereka memasukan baju kaos mereka kedalam celana, lalu mulai menyimpan jambu kedalam baju mereka. Aku ingat ketika masih seumur mereka, aku juga menyimpan rambutan yang aku petik dengan cara seperti itu. 

Jambu-jambu berjatuhan. Anak-anak yang tidak memanjat, mengambil jambu-jambu itu untuk langsung dimakan atau disimpan kedalam baju mereka. Ketika mereka menemukan jambu yang besar dan berwarna paling merah, mereka akan langsung memberikannya kepadaku. "Ini Pak, ini yang paling enak" kata mereka. Benar saja, saat aku makan, ohh, rasanya begitu manis. Jaidin, si bocah nyleneh, sempat mengatakan kepada teman-temannya yang ada dibawah "Hooi, jang makan sendiri, kasih ke Pak Panca" kata dia dari atas pohon. 

Bagaimanapun juga anak-anak adalah manusia yang polos dan masih punya hati yang suci. Kata-kata dan perilaku mereka yang polos sering membuatku merasa sebagai guru paling bahagia di dunia. Mereka begitu baik kepadaku. Sembari sibuk merekam kesibukan mereka menggunakan kameraku, aku makan biji demi biji buah jambu manis itu. Enak sekali rasanya. 

Jaidin turun dari pohon dengan baju besar penuh jambu didalamnya. Dia langsung menghampiriku dan berkata "ini Pak, makan". Dengan senang hati aku makan buah itu. Sepulang dari memetik jambu, mereka mandi di sungai. "Pak, tara usah ikut mandi sudah, pak video kami saja" kata Alul sambil cengar-cengir.

Mereka melepas baju dan mulai berhamburan ke sungai. Mereka selalu berteriak-teriak kearahku supaya aku merekam tingkah mereka. “Pak, pak, pak” kata Irawan dan seketika itu dia pun meloncat tinggi ke air. Ada yang loncat salto dari atas, ada yang memanjat pohon, dan ada yang menyelam kedalam air. Mereka narsis juga ya, batinku. 

*********
Hingga momen yang paling menyadarkanku bahwa anak-anak butuh didengarkan pun terjadi. Minggu malam, aku keluar rumah menuju dermaga desa. Niat awal aku ingin menelfon keluargaku, namun sial bagiku malam itu sinyal Indosat benar-benar susah dicari. Biasanya aku masih bisa dapat sinyal meskipun hanya 1-2 garis. Aku terus berjalan mencari sinyal, dan bukan sinyal yang kutemukan melainkan aku bertemu segerombol anak-anak yang sedang duduk-duduk. Mereka kaget karena kepergok diluar rumah malam-malam oleh gurunya. Mereka tidak belajar. 

Aku pun segera bilang ke mereka, "Hanyo, ngapain malam-malam di jembatan?. Kalian tidak belajar ya?". Mereka hanya berbisik-bisik tidak jelas. Malam itu gelap, aku tak bisa mengenali wajah mereka. Aku putuskan aku ingin berbincang dengan mereka, akhirnya pun aku duduk di antara mereka. Awalnya, mereka nampak canggung. Kemudin baru aku tahu jika mereka ini adalah geng yang beranggotakan anak-anak yang aku ceritakan diatas: Jaidin, Alul, Latami, Arman, Irawan, Aswan, ditambah dengan anak-anak kecil lainnya. 

Agar mereka tidak canggung atau bahkan kabur, aku mulai mengajak mereka ngobrol. Aku pancing obrolan tentang makanan. Makin lama, mereka lah yang jadi pembicaranya, aku cuma mendengarkan. "Pak, ngoni so pernah rasa morea?", tanya Alul. "Bagaimana rasanya?, balasku. Anak-anak menjawab berganti-gantian. Mereka terdengar sangat antusias menjawab pertanyaanku. "Sedap pak, ba(ber)minyak!" jawab mereka. "Morea tu bentuknya seperti apa to?", tanyaku kepada mereka. Dari jawaban mereka, aku bisa membayangkan, morea adalah sejenis belut air. Ukurannya besar. Diameter tubuhnya bisa mencapai 15 cm. Meskipun sampai sekarang aku belum melihatnya langung.

 "Kalian jaga (biasa) mengail morea tarada?" tanyaku lagi. "Saya pak", jawab mereka. "Kalau kalian dapat, jangan lupa kasih ke bapak ya?". "Saya pak" balas mereka. Kesempatan buatku agar aku juga bisa melihat dan mencicipi bagaimana rasa daging morea itu. Cerita malam masih berlanjut tentang jenis makanan. Mereka bercerita tentang ulat "Sabeta" yang hanya hidup di pohon sagu dan enak dimakan. Ulat itu enak dimakan meski masih mentah, apalagi kalau dibakar. Membayangkannya saja aku sudah merasa geli. Rasanya aku pernah melihat ulat ini di TV, tapi aslinya aku belum pernah. Mereka juga bercerita tentang rasanya makan hewan laut, seperti Bulu Babi, Siroa (aku tidak tahu B.Indonesianya), tuturuga (penyu), pari, hiu, dan berbagai jeni kerang-kerangan. 

Aku mendengarkan dengan baik apa yang mereka ceritakan. Aku semakin terkagum-kagum dengan mereka. Mereka pandai sekali bercerita. Aku pun dibuat mupeng mendengar cerita mereka. Aku ingin merasakan semua jenis makanan di sini. Semakin banyak mereka cerita, aku makin sadar kalau ternyata belum banyak makanan laut yang pernah aku coba. Ini kesempatan, aku ingin mencoba sebanyak mungkin jenis makanan di Tanah SARUMA ini. 

Cerita tentang makanan akhirnya berganti topik lain dengan diiringi komitmen anak-anak untuk menangkap atau mencarikan Morea dan Sabeta untukku. "Besok sudah pak, tong mengail buat pak", kata mereka kompak. Sekali lagi, aku dibuat terharu dengan kebaikan mereka.

Topik selanjutnya yang mereka ceritakan adalah tentang bertemu babi hutan di kebun. Malam semakin gelap, aku tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Hanya sesekali terlihat kilatan putih gigi dan mata mereka. Serta, kecipak air laut dan desiran angin meniup pohon bakau disekitar desa. Aku masih setia mendengarkan mereka bercerita tentang pengalaman seru sekaligus menakutkan mereka bertemu babi hutan. Ada yang sampai memanjat pohon kelapa tinggi-tinggi karena bertemu babi hutan bersama anak-anaknya. Mereka memang sangat pemberani. Mereka tidak pernah takut berjalan jauh ke hutan di siang hari. "Oh begitu", "ya, ya, ya" balasku sembari terus mendengar cerita mereka. 

Tak terasa sudah pukul 21.30 WIT. Sudah satu jam aku ngobrol dengan anak-anak. Aku pun mengajak mereka pulang. Sebelum kami bubar, Latami bahkan berkata "Pulang sudah pak, jang besok mangantuk lagi. Besok upacara". Woow, anak ini peduli juga ternyata dengan sekolah :-D. 

*********
Esok harinya ketika bertemu lagi dengan mereka di sekolah, aku lihat wajah mereka jauh terlihat lebih ceria dan ramah kepadaku. Bahkan, mereka mengangkat tangan hormat kepadaku ketika aku masuk gerbang sekolah. Aku balas tersenyum. Betapa senangnya. Itu belum pernah terjadi sebelumnya. Dan ketika aku mengatur barisan agar lebih rapi sebelum upacara bendera dimulai, anak-anak di geng ini jadi jauh lebih penurut dan sopan.

Kemudian aku sadar, bahwa ada cara paling jitu untuk membuat anak-anak nyleneh jadi penurut, yakni bertemanlah dan dengarkan cerita mereka. Karena mereka juga sama seperti anak lainnya, ingin diperhatikan dan didengarkan. 

Sumber: https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/panca-purnomo-2/mereka-juga-ingin-didengar


-Catatan Perjalanan Hidup-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu