Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Kamis, 21 Juli 2016

Cerita di Tengah Perjalanan

Ini adalah cerita tentang pemuda. Pemuda yang pernah menunggu gadis berkerudung biru di atas dermaga.  Waktu itu, gadis berkerudung biru datang menghampiri sang pemuda, sekedar untuk menyapanya dan mengatakan sebuah kalimat yang hingga kini masih menghantui si pemuda. "Maukah kamu melupakan masa lalu?", kalimat terakhir dari perjumpaan terakhir sang pemuda dengan si gadis itu. Di sebuah dermaga lusuh di pinggir pantai nan sendu. Di kala senja dan angin barat sedang musim-musimnya. Hingga kini kalimat itu masih terngiang di telinga sang pemuda, dan tak pernah kuasa ia mampu menerka apa makna dibalik kalimatnya. Sang pemuda hanya selalu berprasangka, jika ada masa lalu, kenapa ia harus dilupakan. Jika harus pula dilupakan, kenapa harus ada masa lalu. 

Tak pernah ada penjelasan, yang ia tunggu-tunggu, tak pernah juga ia datang kembali untuk sekedar menjelaskan apa maksudnya. Sudah sekian tahun, tak pernah ia coba untuk serius menghitungnya. Yang ada dalam kepalanya adalah "Lama". Ia pun tak pernah muncul kembali, hanya sesekali dalam mimpi yang semakin hari bukan lagi penuh pelangi dan biru-biru, namun seolah berubah menjadi hitam dan menyeramkan. Warna-warna itu berganti menjadi tak menentu. Wajah putih dan bersih itu berubah seperti saat melihat wajah sendiri pada cermin yang berembun: buram, kabur. 

Sang pemuda merebahkan tubuh pada tikar lusuh, yang hanya menjadi satu satunya alas tidurnya setiap malam. Ia meletakan kepalanya pada tumpukan pakain yang ia selimuti dengan kain lebar. Terasa empuk layaknya bantal. Ia tak punya kasur, hanya tikar plastik dan semen kasar nan keras yang jadi alas tidurnya. Ia tak menghiraukan itu, meski terkadang sesekali ia rasakan tulang punggung dan pinggangnya sakit-sakitan. Lemari pakain pun tak punya, hanya selimut dekil teman sang pemuda itu tidur setiap malamnya. Sudah hampir satu tahun pemuda itu menghuni rumah kosong di pinggiran kota. Ia ingin berhemat dari kejamnya kehidupan kota tua. Karena itu, ia memang memilih hidup seperti itu. Baginya sudah sangat laya, karena ia pernah hidup jauh lebih buruk dari itu. Rumah, tikar, alas kepala empuk, selimut, pakaian, adalah banyak benda yang dulu tak pernah terpikirkan olehnya.


Malam itu, matanya tak juga bisa terpejam. Setiap kali ia paksa untuk memejamkan mata, kepalanya tak berhenti berkata-kata. Banyak sekali, ribuan susunan kata menjadi kalimat yang seolah keluar dari dalam otaknya. Otaknya seperti bersuara. Ada semacam speaker aktif didalam otaknya yang membuat isi kepala sang pemuda berisik. Ia tak mampu untuk sekedar mengistirahatkan otaknya. Ia pasang selimutnya baik-baik, berharap aura hangat membuat tubuhnya nyaman lalu bergegas tidur. Ternyata sebaliknya, selimut hanya membuatnya berkeringat gerah. Ia tutup matanya dengan lengan tangan, tak juga banyak membantu. Akhir akhir ini ia tak mudah terlelap. Badannya semakin ringkih, nafsu makannya hilang, matanya semakin kuyu, dan berat badannya hilang. 

Kepalanya berputar-putar. Isi otaknya mengajak ia berlari dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, mengingat kata demi kata yang pernah diucapkan orang kepadanya, berputarlah wajah wajah orang yang pernah mengisi kehidupannya, teringatlah ia tentang cita-cita masa kecilnya, tentang harapan-harapan saat ia remaja, hingga janjinya kepada orang tua untuk membanggakan mereka saat mereka masih ada. Semua itu: kata-kata, wajah-wajah, cerita-cerita, bak air bandang yang menjebol masuk ke dalam benteng pikirannya. Otaknya banjir, penuh bahkan luber dengan semua itu. Dadanya semakin lama semakin sesak, saat wajah wajah orang yang ia cintai muncul dalam ingatannya. Seketika itu, muncullah apa yang disebut tentang harapan, kecewa, cinta, dendam, teraniaya, marah, tak peduli, kemunafikan, semua hal buruk yang pernah ia kenal di dunia ini. Orang yang ia cintai, bisa berubah menjadi orang yang paling mengecewakan dirinya. Hingga satu persatu itu, berubah menjadi amarah. "Bisakah kamu melupakan masa lalu?". Kalimat terakhir sang gadis, lagi-lagi terngiang dalam otaknya.  Ia belum mampu menerimanya, belum juga bisa mencernanya. Apa maksud semua ini, kata pemuda dalam hati. Otaknya semakin penuh, hingga terasa pening. Dadanya sesak dan seluruh anggota tubuhnya terasa sakit. 

Ia pun tiba-tiba menarik tubuhnya. Duduk. Ia sadar, tepatnya tersadar. Sang pemuda berusaha mengatur nafasnya, mengatur ritme jantungnya. Perlahan demi perlahan, tubuhnya mulai tenang begitu juga dengan pikirannya. Pikirannya masih berkecamuk, namun tak lagi seramai tadi. Ia menatap kosong tembok putih di depannya. Banyak tanda tanya dalam pikirannya, yang membuatnya terus terjaga malam itu. Hingga tanpa sadar ia perhatikan jam dinding, sudah pukul 2 pagi. Selama itukah ia tak tidur?. 

Dini hari seperti itu, semuanya terdengar jelas dan jernih. Termasuk nyanyian makhluk dunia di luar sana. Gemerisik angin pagi pun terdengar jelas di telinganya. Ia mencoba masuk ke dalam dirinya sendiri. Suara dalam kepalanya terdengar kembali. Ia berusaha berdialog dengannya, dan sesuatu yang luar biasa terjadi. Ia berdialog dengan dirinya sendiri. Ia seperti menemukan ketenangan dalam dialog dialognya. Dini hari itu, ia berbincang dengan dirinya sendiri. Tanda tanya itu ia jawab sendiri, air bah yang menghantam isi kepalanya ia alirkan satu persatu sendirian. Suasana hening dan gelap malam menemani dialog antara sang pemuda dengan dirinya. Ia masih duduk meringkuk menatap dinding, menerawang jauh kedalam dirinya. Belum terlihat ada ujungnya, namun perbincangan itu menyadarkan dirinya bahwa hidupnya yang sekarang pun suatu ketika akan menjadi masa lalu. Apakah itu yang kau maksud wahai gadis berkerudung biru?Suara pemuda itu didalam dirinya sendiri.


-Catatan Perjalanan Hidup-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    6 bulan yang lalu