Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Rabu, 11 Januari 2012

Almamaterisme?

Sudah cukup lama rasanya saya tidak menulis baik di blog maupun note facebook. Keinginan untuk menulis sepertinya sedang tidak menghinggap didalam tangan dan kepala saya selama kurang lebih 2 minggu ini. Entahlah, apa penyebabnya. Mungkin saya rasa, saya sedang jenuh, bosan, dan tidak bergairah. 

Ketika keinginan untuk menulis itu muncul, yang ada dikepala saya adalah peristiwa hidup yang saya alami selama penelitian saya di sebuah institusi penelitian milik pemerintah di Sukabumi, Jawa Barat. Tulisan ini pun barangkali akan banyak mengambil cerita dari sudut pandang saya dan sekaligus bentuk curhatan tertulis saya di blog ini. Saya memang suka menulis keluh kesah pun dengan pemikiran-pemikiran saya dalam bentuk tulisan, yang kemudian saya terbitkan di blog, note, atau saya simpan untuk diri sendiri. 

Dengan menulis-seperti ini-saya serasa sedang mengurangi beban dari dalam kepala saya sekaligus mengurai hal apa saja yang sedang saya pikirkan. Selain itu, saya bercerita kepada blog dan note karena, saya masih belum berbagi cerita mendalam kepada orang lain, bahkan kepada keluarga saya sendiri. Meskipun sering kali, saya tidak mendapatkan feed-back dalam bentuk saran atau apapun setelah saya menulis, tapi setidaknya 'curhat' kepada blog membuat saya lebih 'plong'. Jadi, tulisan saya ini adalah bagian dari 'curhatan' saya.

Saya membaca koran 2-3 hari yang lalu di perpustakaan tempat saya melalakukan penelitian. Salah satu cerita yang dimuat oleh semua koran yang saya baca (Republika, Kompas, dan Jakarta Post) adalah mengenai penelusuran jejak kematian Tan Malaka, seorang tokoh kemerdekaan Indonesia. Dalam salah satu artikel di koran tersebut, saya membaca petikan kalimat dari Tan Malaka yang dikutip dalam artikel tersebut. Saya lupa kalimat pastinya, yang saya ingat sepeti ini "Mungkin jasadku sudah menjadi tanah, tapi suara tulisanku akan keras dan abadi". Mungkin sudah banyak orang lupa siapa Tan Malaka, tapi bagi mereka yang bergelut dengan dunia pergerakan pemuda dan politik nasional, pasti kenal dengan Tan Malaka. Beliau memang telah wafat lebih dari 60 tahun lalu, tapi pemikiran-pemikiran beliau masih bergema sampai sekarang, terutama di kalangan aktivis politik dan kaum nasionalis. Beliau banyak menulis buku seperti Madilog dan Aksi Masa. Buku-buku beliau sampai sekarang masih sering dijadikan acuan aktivis pergerakan di Indonesia. Namanya masih awet dan abadi, meskipun jasad beliau sudah lama terkubur tanah. Itulah dasyatnya kekuatan menulis. Mungkin tulisan saya tidak sefenomenal karya Tan Malaka, tapi setidaknya tulisan-tulisan saya nantinya (saya harap) dapat diingat oleh garis keturunan saya meskipun saya sudah terkapar bersama tanah. Seperti kata Iwan Styawan "Aku menulis untuk merapikan masa laluku". Maka, marilah menulis. 

Menyoal tentang membaca koran, saya memang bisa dikatakan hampir setiap hari mengunjungi perpustakaan instansi tempat saya sedang penelitian untuk sekedar membaca koran. Sebenarnya, selain motivasi utama saya adalah untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di Nusantara dan dunia, saya setiap hari ke perpustakaan karena saya "tidak mempunyai banyak pekerjaan disini". Terkadang saat saya berjalan menuju tempat penelitian, saya bertanya kepada diri saya sendiri "apa aktivitas saya hari ini?". 

Banyangkan kawan, sudah hampir 2 bulan saya disini. Tapi penelitian saya belum jua bisa saya mulai. Tahu kenapa?karena ikan yang saya akan jadikan obyek penelitian selalu saja tidak selamat melewati fase aklimatisasi, alias mati. Banyak kendala yang saya hadapi disini, saya sepeti tidak mendapatkan sosok orang yang benar-benar bisa saya jadikan tempat sandaran. Pembimbing lapangan, yang katanya tugasnya membimbing, pun tidak. Saya seperti melakukan semuanya sendiri. 

Tidak ada seorang pun yang bisa saya minta bantuannya. Saya layaknya orang yang sedang berdiri sendirian di tengah lapangan sepak bola dan dilihat oleh banyak orang di luar lapangan sembari meneriaki saya dengan kata-kata yang tidak jelas saya dengar. Dari tengah lapangan, saya hanya bisa melihat gerak tubuh mereka yang seolah-olah sedang menertawakan dan menunjuk-nunjuk kearah saya. Itulah yang saya rasakan. 

Bahkan orang yang saya anggap dapat membantu saya untuk berjalan dan berlari keluar dari kesendirian ditengah lapangan, hanya bisa melihat saya. Pertolongan yang saya harapkan dari mereka, sepertinya sia-sia. 

Ini adalah perspektif saya, apa yang saya rasakan, dan bukan yang dirasakan orang lain. Karena saya tidak pernah tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Pernah suatu ketika, bebebarapa orang membuat penelitian saya sebagai bahan candaan. Mereka tertawa diatas penderitaan saya. Siapa si yang mau penelitian lama-lama?Tidak ada!. Setiap orang pasti ingin cepat selesai. Beberapa seolah menanyakan bagaimana penelitian saya, tapi dengan kata, mimik dan gerak tubuh yang sangat layak seperti mengorek luka. Sudah jelas ada luka, tapi malah dikorek, jelas makin sakit. Bahkan tanggapan yang sungguh tidak mengenakan dari orang yang seharusnya bisa memberikan nasehat dan pencerahan. Apa-apaan ini?Mungkin benar jika ini adalah budaya mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari kita sering menganggap penderitaan orang lain sebagai bahan guyonan dan tertawaan yang lumrah dan wajar. Semoga saya salah.

Beberapa kali saya mendengar dari orang yang berbeda-beda bahwa, sering kali di dunia kerja, eksklusivisme antar almamater benar-benar terjadi. Saya masih ingat suatu ketika ada seorang teman dari salah satu universitas besar di Indonesia yang terletak di Jogja bertanya kepada Direktur Utama SDM Pertamina, apakah benar bahwa selain almamater X, kemungkinan di terima di Pertamina sulit. Mungkin kita pun mempunyai pemikiran sama, bahwa terkadang sebuah instansi pemerintah sering didominasi oleh alumni almamater tertentu. Dia, teman saya itu, mendapatkan cerita tersebut dari seniornya. Ketika saya berada lembaga penelitian ini, cerita yang hampir sama seperti teman saya dari universitas di Jogja itu pun pernah saya dengar dari beberapa orang. Ada seorang, bahkan, yang mengatakan jika kamu bukan dari almamater X maka kamu tidak akan jadi siapa-siapa disini. Saya tidak tahu kebenarannya. Tapi memang dominasi itu ada. 

Jika memang almamaterisme di dunia kerja, almamaterisme disebuah instansi baik itu negeri atau swasta benar terjadi, maka saya sangat benci akan hal itu.  Bukankah setiap orang, entah dari lulusan perguruan tinggi apapun layak mendapatkan perlakuan yang sama. Picik dan sempit sekali jika ada orang yang menggunakan prinsip "beda almamater, beda perlakuan". Barangkali hal seperti itu adalah yang membuat negara kita terus saja terpuruk seperti ini, karena setiap orang di pucuk pengelola negara ini yang notabene adalah lulusan dari perguruan tinggi di Indonesia saling rebut pengaruh dan memperkerdil keberadaan alumni perguruan tinggi yang berbeda. Bukankah yang seperti itu melahirkan budaya kerja yang tidak sehat dan justru negatif?

Saya masih ingat betul salah satu prinsip mengapa Eropa atau dunia barat bisa maju dan sejahtera seperti sekarang ini seperti yang tertulis di buku karya Kishore Mahbubani, adalah 'meritokrasi' atau kesamaan, kesetaraan, berdasarkan kualitas. Bukankah sangat tidak adil jika seseorang mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak dapat menempati posisi strategis jika hanya karena berbeda almamater?bukan pada kualitas dan kompetensi orang itu?Coba renungkan, apakah budaya meritokrasi sudah kita rasakan di negara ini?Barangkali di beberapa sektor meritokrasi sudah terlaksana dengan baik, tapi  sering kita dengar saat ini budaya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) masih mengakar di dunia kerja negara ini. Jika anda tidak punya relasi dan cukup uang terkadang anda sulit untuk masuk menjadi pegawai di instansi pemerintah terntetu. Semoga saya pun salah menilai hal ini.

Bagaimana mungkin negara ini bisa mempunyai kinerja yang produktif dan progresif jika para pemegang kepemimpinan di lembaga-lembaga pemerintah saling menonjolkan almamaternya masing-masing?Yang terjadi jika paham almamaterisme menjadi paham yang diamini bersama, terutama oleh pucuk-pucuk pimpinan, yang ada adalah dominasi dan pengerdilan peran alumni almamater lain serta tentu saja budaya kolusi dan nepotisme. 

"Saya membenarkan usaha-usaha jiwa muda dalam pembinaan kesatuan bangsa ini, dengan menghilangkan sikap-sikap dan sifat-sifat menyendiri (eksklusivisme), dengan jalan penyatuan, pembauran (asimilasi) dalam tubuh bangsa Indonesia"
(Soekarno)

Diatas adalah kutipan kalimat dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang mengatakan bahwa ekslusivisme dikalangan kaum muda harus dihilangkan. Ekslusivisme yang dikarenakan almamater, suku, agama, maupun organisasi harus dihilangkan dalam pemikiran dan tindakan seluruh masyarakat Indonesia. Menurut saya, ekslusivisme seperti itu akan membunuh potensi seseorang. Membunuh potensi jauh lebih merugikan, karena hasilnya adalah ketidakproduktifan kerja. 

Menurut saya, kecintaan terhadap almamater memang harus dipunyai oleh setiap orang. Bahkan, saya sendiri sangat cinta mati terhadap almamater saya. Tapi, jika sddah berada pada lingkungan yang heterogen, dan mencangkup kepentingan yang jauh lebih luas, maka ekskulisvisme alamamater harus dibuang, yang diutamakan adalah kepentingan nasional, bangsa dan negara. 


Saya sangat terkesan dengan Bapak Waluyo, Direktur SDM Pertamina, pada saat saya bertemu dengan beliau di acara temu bareng penerima beasiswa Pertamina seluruh Indonesia di Jogja pada tahun 2009, yang mengatakan kepada seluruh peserta yang sedang memakai jas almamater kebanggaan mereka masing-masing dan duduk mengumpul dengan teman dari almamater yang sama seperti ini "Akankah kalian akan terus menonjolkan warna jas almamater kalian masing-masing?", seketika itu, kami pun melepas jas almamater kami. Sehingga yang terlihat tidak ada blog warna masing-masing almamater di dalam pertemuan itu. Setelah saat itu, saya tahu bahwa ternyata   Pak Waluyo bukanlah alumni dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, bahkan beliau adalah lulusan SMK. 


Masihkah kita menjadi agen paham almamaterisme yang jelas-jelas membuat perpecahan di dunia kerja negara ini?

Almamaterisme, atau paham sempit terhadap almamater, atau ekslusitivas  almamater, harus kita hilangkan dari seluruh dunia kerja di Indonesia.

Say No To Almamaterism!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Jangan Baper - Jangan baper kalau kerja. Hubungan antar manusia di tempat kerja, entah dengan rekan, bawahan atau atasan, gak selamanya baik-baik saja. Hubungan kerja, sa...
    4 tahun yang lalu