Bocah kecil itu berjalan lemah. Pakaiannya usang, sobek dimana-mana. Pakaiannya kebesaran, seolah menelan seluruh badannya. Celana pendeknya bahkan tidak kelihatan. Tas kresek bertali rafia menggelayut di pundaknya. Entahlah apa isinya, mungkin itu adalah bendanya yang paling ingin ia jaga. Langit sudah gelap. Jalanan terang oleh lampu-lampu kendaraan yang masih saja tertahan saking padatnya. Begitulah pemandangan ibu kota.
Bocah kecil itu masih berjalan gontai. Lalu lalang kendaraan dan manusia tak lagi ia hiraukan. Suara klakson nyaring pun tak membuatnya tutup telinga. Tibalah ia di jembatan jalan tol yang lebar. Di pinggirnya ada sudut yang bisa menyembunyikan badan untuk sementara. Ia pun duduk disana. Melipatkan kedua kaki, dan menyatukan kedua tangannya di atas lututnya dengan erat.
Ia menunduk. Sesekali menerawang jauh menembus pepohonan diseberang jalan. Padatnya kendaraan, tak membuatnya bergeming. Ia menunduk kembali. Melihat ujung jari-jari kakinya yang berdebu, hitam, keriput tanpa alas kaki. Ia betulkan leher bajunya yang melorot, membuat pundaknya kelihatan. Bocah kecil itu sendiri, meringkuk dibawah pojok jembatan jalan Tol. Menahan dingin dan lelah. Setiap malam, begini saja ceritanya.
Dan setiap malam juga, sebelum ia memejamkan mata, ia selalu bertanya-tanya "Apakah mentari esok pagi kan tiba?".
................. Esok pagi pun tiba.
Dan setiap pagi yang sama, ia heran, "Buat apa lagi aku melihat mentari?".
-Catatan Perjalanan Hidup-
Sedikit koreksi, Ca.
BalasHapusPenulisan partikel di- (di mana-mana dan di seberang) sebaiknya dipisah.
Ada orang bilang kalau Ibukota itu lebih kejam daripada ibu tiri.
Keep survive, anak kecil :)