Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Selasa, 07 Februari 2012

Ekspor Kaum Intelek Indonesia


Saya mendapatkan berita gembira hari ini. Setelah menghabiskan waktu seharian di laboratorium, saya berkirim sms dengan beberapa orang teman. Saya harus tetap menjaga komunikasi saya kepada teman-teman meskipun lembaga riset dimana saya belajar ini menuntut pekerjaan yang lumayan banyak. Salah satu orang yang berkirim sms dengan saya adalah kakak tingkat saya. Meskipun dia dan saya berbeda fakultas, tapi saya lumayan sering berkomunikasi dengannya. Saya menjadikannya salah satu sumber informasi saya mengenai berbagai hal.

Satu yang membuat saya senang hari ini adalah bahwa dia mengatakan akan berangkat ke Korea untuk melanjutkan study masternya. Subhanallah. Saya turu bersuka cita kepadanya. Akhirnya, dia mendapatkan kesempatan untuk kuliah di negara impiannya; Korea Selatan. Selain mungkin ingin bertemu dengan artis korea^^. 

Yang kedua yang membuat saya bahagia hari ini adalah setelah sampai di rumah, salah satu teman sekolah menengah dulu memberitahu bahwa salah satu teman kami sedang melanjutkan pendidikan di Swedia, Eropa. Subhanallah, saya turut senang mendengar informasi itu.


*******
Kuliah ke luar negeri?barangkali hal itu adalah impian mayoritas mahasiswa di Indonesia. Banyak diantara mereka yang berjuang mati-matian demi meraih tiket kuliah ke luar negeri dengan mendapatkan beasiswa. Bagi mereka yang mampu membiayai kuliahnya di luar negeri, tentu hal itu bukan masalah. Tapi bagi mereka yang mengandalkan beasiswa untuk memperoleh tiket kuliah di luar negeri, perjuangan mendapatkannya jauh lebih berat dan kompetitif. Apalagi di Indonesia sendiri, tawaran beasiswa untuk berkuliah di luar negeri lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pendaftarnya.  Sehingga, tidak mengherankan, banyak mereka yang harus menunggu lama sampai kesempatan menimba ilmu di luar negeri datan. Saya ingat seorang Indonesia kandidat PhD di sebuah universitas terkemuka di Jepang yang mengatakan dari sekian ribu mahasiswa Indonesia yang mendaftar, hanya sekitar 60 an orang yang diterima untuk program doktor. Namun demikian, tawaran beasiswa baik dari pemerintah Indonesia atau luar negeri, maupun pihak swasta dalam atau luar negeri kepada masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. 

Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri diperkirakan sebanyak 50 ribu orang [1], lebih sedikit dibandingkan dengan  jumlah TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri yang jumlahnya mencapai 71 ribu orang [2]. Sedangkan jumlah TKI (tenaga kerja Indonesia) sendiri pada tahun 2011 mencapai 581 ribu orang [3], sangat jauh lebih besar dibandingkan jumlah mahasiswa Indonesia di luar negeri. Berbicara mengenai ekspor orang cendikia Indonesia ke luar negeri alih-alih tenaga kasar Indonesia, saya jadi teringat cerita Thomas L. Friedman dalam bukunya "Hot, Flad, and Crowded-Why We Need Green Revolution". Dia bercerita pengalamannya ketika akan naik pesawat ke Indonesia dari Bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dia melihat ada sekitar 200 perempuan Indonesia berbondong-bondong menaiki pesawat dengan membawa tas dan rangsel serta perkakas elektronik. Dia kemudian bertanya kepada seorang pengusaha India berbusana rapi disebelahnya "Apa yang dikerjakan oleh semua perempuan ini?". "Mereka semua adalah pembantu rumah tangga", jawab pengusaha India itu. Obrolan mereka berlanjut, dan kemudian si pengusaha mengatakan kepada Thomas "Ekspor Indonesia adalah pekerja kasar, bukan pekerja berotak". Dan berikut ini adalah kutipan kalimat Thomas dalam bukunya itu " Indonesia harus menyediakan pendidikan yang lebih baik kepada warganya, maka mereka bisa menjalani pekerjaan yan lebih baik di negeri sendiri, sehingga tidak sebanyak ini diantara mereka yan terpaksa menjual keringat di negeri orang". 

Ada semacam kegetiran dalam hati saya saat saya membaca ulusan si penulis yang notabene orang Amerika itu khususnya pembahasan tentang negara saya, Indonesia. Ironis dan malu rasanya. Saya jadi teringat kembali pengalaman hidup saya sewaktu belajar di negara orang. Saya belajar dalam satu kelas bersama dengan mahasiswa dari beberapa negara. Ada sebagian dari mereka banyak mengenal kebudayaan Indonesia. Saya dan teman Indonesia saya sedang terlibat obrolan ringan dengan salah satu teman kami itu. Ternyata salah satu teman kami tahu beberapa kosa kata dalam bahasa Indonesia dan ia pun mengucapkannya dengan baik. Kemudian ia berkata "Iya, saya sedikit tahu bahasa Indonesia karena ada pembantu rumah tangga saya orang Indonesia". Deg!!Seketika itu, saya merasa sangat marah bercampur malu. Perasaan hati saya bercampur aduk waktu itu, ingin rasanya saya bentak teman baru saya itu, tapi kenyataannya memang banyak pembantu rumah tangga di negara teman baru saya itu berasal dari Indonesia.

Terkadang saya berpikir kenapa pemerintah Indonesia tidak memberikan beasiswa besar-besaran kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mau menempuh pendidikan di luar negeri, terutama negara-negara maju seperti US, UE, Jepang dan Australia. Seperti teman Arab saya yang pernah mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi memberikan beasiswa ribuan jumlahnya kepada warganya yang ingin kuliah di Amerika tanpa seleksi yang ketat. Bahkan kata teman saya itu, pasti diterima jika mendaftar. Ditambah lagi uang beasiswa yang diberikan pun sangat lah besar, bahkan banyak teman Arab saya yang langsung membeli mobil dengan uang bulanannya. Karena itu, tidak mengherankan jika berkunjung ke universitas-universitas di Amerika, jumlah mahasiswa asing dari Arab Saudi dan sekitarnya tergolong sangat dominan, meskipun masih kalah dibandingkan China dan India. Kemudian saya betanya-tanya, kenapa ya pemerintah negara saya belum seperti itu?

Bukankah pendidikan adalah investasi dimasa depan?Bukankah negara yang mempunyai keunggulan kompetitif berupa kualitas sumber daya manusianya akan menjadi bangsa besar dan mampu memimpin dunia?Saya rasa, pertanyaan dan jawaban itu sepenuhnya sudah diketahui oleh para pemimpin negara ini. 

******
Sejak tahun 1950-an, Amerika dan Kanada menjadi negara tujuan utama kaum pandai dari seluruh dunia. Negara itu ibarat surga bagi orang-orang yang haus ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, Amerika mampu tumbuh menjadi negara super power  karena terbantu dengan kedatangan orang-orang dengan kualitas otak nomor wahid seantero bumi. India dan China adalab salah satu negara pengekspor kaum intelektual terbanyak ke Amerika dan Eropa Barat. 

Meskipun pada mulanya negara semacam India dan China mengalami kerugian karena banyak warga terbaiknya justru pergi dan bekerja di negara lain, namun perlahan tapi pasti kesadaran untuk membangun negaranya sendiri makin tumbuh besar. Banyak kaum intelektual tersebut yang kemudian memilih kembali dan membangun negara asalnya dengan ilmu dan pengalaman yang mereka peroleh selama di Amerika dan Eropa. India dan China juga adalah contoh negara yang mendapatkan manfaat dari aksi eksodus kaum intelektualnya.

Saya mengutip sebuah artikel [1]:
"Kebangkitan industri dan ekonomi di China dan India bukan sekadar karena tersedianya tenaga kerja yang murah. India dilirik investor dunia, salah satunya karena tingginya modal intelektual per satuan dolar AS. Tiga negara yang menduduki peringkat atas dalam hal jumlah publikasi ilmiah per satuan GDP adalah India (31,7%), China (23,32%), dan Amerika (7%). Meski termasuk dalam negara berkembang, India merupakan negara maju bila dilihat dari infrastruktur intelektual. Dari 2.300 karyawan Fasilitas R&D General Electric terbesar di dunia yang berlokasi di India, 700 orang di antaranya adalah para profesional India yang memilih kembali dari Amerika Serikat"

China dan India adalah contoh negara yang mengalami kemajuan pesat karena akumulasi ilmu dan pengalaman profesional warganya yang telah kembali dari negara-negara maju. Bisa jadi kemajuan India dan China tidak akan secepat seperti sekarang ini jika warga mereka yang kuliah dan bekerja di negara maju tidak kembali ke negaranya.


Kapan ya pemerintah Indonesia secara besar-besaran akan mengirim kaum intelek Indonesia untuk belajar di luar negeri, alih-alih mengirim tenaga kasarnya

Saya ingat perkataan salah satu orang Indonesia yang saya temui di Amerika waktu itu, "Selama Indonesia dan pemimpinnya belum menghargai pendidikan dan orang-orangnya, saya belum ingin pulang".

Indonesia, 2012

Footnote:
[1]  Yuli Setyo Indartono. 2009. Brain Drain: Musibah Atau Berkah?. http://io.ppijepang.org/cetak.php?id=335
[2] kalyanamitra. 2005. TENAGA KERJA WANITA1 INDONESIA :PAHLAWAN DEVISATANPA PERLINDUNGAN. http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/pdf/+ed1no4.pdf
[3] KEMENAKERTRANS: Jumlah TKI Ke Luar Negeri 2011 Turun. http://wartapedia.com/nasional/nusantara/6980-kemenakertrans-jumlah-tki-ke-luar-negeri-2011-turun.html

by: panca dias purnomo

2 komentar:

  1. kalo boleh berkomentar lagi, yaa...
    Pemerintah Indonesia mmg seharusnya lbih membuka akses untuk membuka beasiswa LN daripada DN. Terlebih dari itu, bolehlah kita belajar di negeri barat, tapi jangan lupa bahwa sumber ilmu pengetahuan di dunia yang ada itu sebenarnya dimiliki oleh kaum muslim..jangan s/d pikiran dan ilmu kita dipengaruhi oleh kaum liberalis sehingga menggoyahkan akidah.
    u/ para TKW Indonesia...perlu ada treatment khusus lagi, nih, agar ga jadi sasaran pelecehan o/ pelaku tak beradab di LN :)

    BalasHapus
  2. Treatment khusus TKW: STOP ekspor TKW kurang berpendidikan dan keahlian.Ekspor TKI yag berpendidikan dan berkeahlian. titik.

    BalasHapus

Read Also

  • Jangan Baper - Jangan baper kalau kerja. Hubungan antar manusia di tempat kerja, entah dengan rekan, bawahan atau atasan, gak selamanya baik-baik saja. Hubungan kerja, sa...
    4 tahun yang lalu