Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Kamis, 16 Februari 2012

Budaya: Menulis dan Membaca



Mudah saja untuk menilai sesuatu telah menjadi budaya atau pun belum. Jika sesuatu hal telah menjadi budaya, maka setiap orang yang melakukan, melihat, dan mengalaminya tidak akan heran dan merasa aneh maupun asing. Namun, sebaliknya, jika sesuatu hal belum menjadi budaya, maka setiap orang yang melakukan dan melihat sesuatu tersebut akan merasa aneh dan asing. Budaya, akan membuat orang yang melakukan atau pun melihatnya merasa wajar-wajar saja; normal-normal saja. Tapi, jika bukan budaya, akan membuat orang merasa risih, malu, aneh, dan heran. 

Uniknya lagi, jika sesuatu hal belum dianggap suatu kewajaran atau kenormalan, orang-orang akan membuat sesuatu itu menjadi bahan 'guyonan' atau lelucon dan sepertinya layak menjadi sumber keheran-heranan orang. Terkadang pula menjadi bahan perbincangan orang. Berbeda jika suatu hal telah menjadi budaya, maka hal itu tidak akan mengundang keheran-heranan orang dan orang-orang itu, meskipun belum tentu semuanya, dapat menerima hal tersebut. 

Sepengetahuan saya, suatu hal yang seperti itu berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Suatu hal yang dianggap budaya dan baik di suatu masyarakat belum tentu dianggap demikian di masyarakat yang lain.

Banyak permisalannya,


Misalnya adalah membuang sampah, merokok di tempat umum, dan berebut antrean. Beberapa hal tersebut dianggap biasa dan normal-normal saja di negara ini. Bisa dikatakan, meski sebenarnya sangat tidak mengenakan, hal-hal tersebut telah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Banyak orang (tidak semuanya) yang saat melakukan hal-hal seperti itu merasa wajar-wajar saja, normal-normal saja, dan tidak pula merasa risih atau pun malu. Mereka melakukannya sepertinya merasa tanpa dosa, tanpa beban. Yaa, begitulah kalau sudah menjadi budaya. 

Permisalahan kebalikanya adalah saat ada orang membaca buku di tempat umum atau di kelas saat jam pelajaran kosong, sering kali hal tersebut dianggap sesuatu yang 'tidak' wajar atau normal. Seperti contoh peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu saat saya sedang membaca sebuah buku di tempat kerja. Ada seorang pegawai kantor yang menyapa "Nah, gitu dong, baca buku biar pinter". Lalu misalnya saat di kelas, sedang menunggu dosen datang. Ada seorang yang sedang membaca buku diantara orang yang sedang berbicara, mungkin perkataan ini yang akan seorang itu dapatkan "Cieee..rajin amat sih". Anda (kemungkinan besar) akan menjadi pusat perhatian jika melakukannya di tengah-tengah aktivitas manusia di negara ini. Jika ada seorang yang membaca buku di tempat umum, sepertinya akan menjadi sumber perhatian' orang disekelilingnya, bahkan di kelas atau kawasan kampus/sekolah sekalipun. Parahnya, terkadang hal-hal seperti itu menjadi bahan 'guyonan' atau 'lawakan' untuk ditertawakan. Yaa begitulah, membaca buku memang belum sepenuhnya menjadi budaya masyarakat di negara ini.

Jika membaca buku telah mejadi budaya di negara ini suatu saat nanti, kita pasti dapat  menemukan dengan mudah orang membaca buku di angkot, kereta, bus, terminal, halte, kafe, dan tentunya di setiap sudut universitas atau lembaga pendidikan lainnya. Setiap orang yang melakukan dan melihatnya pun tidak merasa risih, malu, ataupun heran, apalagi dibuat bahan guyonan.

Itulah beberapa contoh yang ingin saya katakan tentang 'telah membudaya' dan 'belum membudaya'. 

*******
Saya kemudian mencoba 'googling' tentang minat membaca dan menulis di Indonesia. Ternyata beberapa angka yang saya temukan mengenai fakta tentang budaya membaca dan menulis di negara ini cukup membuat saya miris. Meskipun sebelumnya saya sudah menebak hasilnya tidak akan terlalu membanggakan. Dan benar saja, hampir semua judul hasil pencarian saya membuktikan tebakan saya itu; "Minat Membaca, Siapa Peduli?", "Jumlah Buku di Indonesia Masih Sedikit", "Hanya 1 dari 10.000 Masyarakat Indonesia Suka Membaca", "Kenapa Minat Baca Masyarakat Indonesia Rendah?", dan masih banyak judul artikel serupa lainnya yang ditampilkan Goggle. 

Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta ini ternyata setiap tahunnya rata-rata baru bisa menerbitkan buku sebanyak 10.000 judul. Jumlah yang sama juga diterbitkan di Vietnam, namun dengan jumlah penduduk hanya 26 juta jiwa. Malaysia, dengan jumlah penduduk 80 juta jiwa mampu menerbitkan buku 15.000 judul per tahun [1]. Prosentase minat baca masyarakat Indonesia diperkirakan sebesar 0.01%, jauh dibawah Singapura yang mencapai 55% [2]. Menurut data dari UNDP, Indonesia mempunyai posisi ke-96 dalam hal minat baca. Di kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara yang posisinya di bawah Indonesia, yakni Laos dan Kamboja [3]. Rasio orang membaca surat kabar di Indonesia adalah 1:43, padahal idealnya adalah 1:10, atau satu surat kabar untuk 10 orang [4]. 

******
Tidak dapat dipungkiri, budaya membaca dan jumlah buku yang diterbitkan menjadi salah satu indikator masyarakat negara dikatakan maju atau berkembang. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, budaya membaca buku telah mendarah daging. Hampir semua orang senang membaca. Jumlah buku yang diterbitkan di negara tersebut pun sangat tinggi, di Jepang misalnya, buku yang diterbitkan setiap tahunnya mencapai 60.000 judul [5]. Pun, tidak mengherankan jika di negara tersebut, kita dapat dengan mudah menjumpai orang yang sedang membaca buku di berbagai tempat. Budaya atau level minat membaca dan menulis menunjukan tingkat kemajuan suatu masyarakat dan bangsa. Di negara maju, kecenderungan orang yang suka membaca dan menulis sangatlah tinggi. 

******
Banyak orang mengatakan jika aktivitas membaca berkorelasi dengan aktivitas menulis. Namun ada juga yang mengatakan orang yang suka membaca belum tentu suka menulis. Tapi, orang yang suka menulis tentu suka membaca, karena dia membutuhkan sumber referensi, bahan pembanding, dan inspirasi dari tulisan lainnya. Bagi saya, kegemaran membaca suatu saat akan melahirkan keinginan untuk menulis. Saat aktivitas menulis dilakukan dan akhirnya menjadi kegemaran, maka aktivitas membaca pun akan jadi kebutuhan. Akhirnya, kedua aktivitas itu pun sama-sama akan jadi kebutuhan, tidak sekedar kegemaran. Membaca dan menulis memang mempunyai hubungan, tapi tidak selalu berkorelasi positif. Sedikitnya jumlah buku yang terbit di negara ini bisa jadi karena rendahnya minat membaca masyarakatnya. Padahal, salah satu penyebab orang berkeinginan menulis adalah karena senang membaca. Bagaimana orang akan senang menulis jika tidak suka membaca, dan bagaimana orang akan suka membaca jika tidak banyak tulisan (buku) apalagi jika harga buku terlampau mahal?.

*****
Sebenarnya, saya terinspirasi untuk menulis artikel ini setelah saya membaca sebuah promosi buku dari seseorang. Saya tahu dia telah menerbitkan beberapa buah buku saat dia masih berstatus mahasiswa. Saya kurang begitu tahu, buku yang ia promosikan kali ini adalah bukunya yang keberapa. Saya sangat mendambakan akan lahir orang-orang seperti dia dikampus saya. Saya telah bertemu dengan beberapa mahasiswa di kampus saya yang juga telah menerbitkan buku seperti dia. Saya berharap, orang-orang seperti dia dan seperti mahasiswa yang menulis buku dan menerbitkannya dari kampus saya akan semakin bertambah, dan semoga menjadi budaya (membudaya).

Sewaktu saya tahu dan berkenalan dengan mahasiswa di kampus saya yang ternyata telah menerbitkan buku, dalam hati saya berkata "woow, keren". Saya sangat salut dan bangga kepada jenis mahasiswa seperti ini. Itu artinya, menerbitkan buku saat masih menjadi mahasiswa belum menjadi budaya dikampus saya. Buktinya, saya masih heran dan terkesima dengan hal tersebut. Beda ceritanya, jika menerbitkan  buku karya sendiri telah menjadi budaya, maka seorang mahasiswa tidak akan heran dan 'woow' jika ada temannya menerbitkan buku karena hal itu sudah biasa. 

Sama halnya jika ada mahasiswa yang mengikuti acara di luar negeri, entah itu konfrensi, presentasi, student exchange, atau apapun masih dianggap sesuatu yang 'woow' dan banyak orang heran karenanya, maka mengikuti acara di luar negeri masih belum membudaya di kalangan mahasiswa. Jika mengikuti acara di luar negeri telah dianggap hal yang biasa, maka hal itu, menurut saya, telah membudaya, karena banyak orang yang sudah melakukannya. 

Membaca dan menulis adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang mahasiswa. Kedua aktivitas itu bagi setiap mahasiswa ibarat kedua sisi mata uang, tidak terpisahkan. Membaca buku referensi dan menulis laporan praktikum atau tugas dosen adalah contohnya. Meskipun terkadang masih banyak diantara kita yang cukup 'copy-paste' saja. Intelektualitas mahasiswa dapat diukur dari seberapa minatkah ia dalam membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis adalah aktivitas yang mampu memperkaya wawasan dan kapasitas otak manusia. Orang cerdik cendikia di seluruh dunia dari dekade ke dekade adalah mereka yang gemar membaca dan juga menghasilkan karya berupa tulisan. Mahasiswa, tanpa membaca dan menulis adalah keniscayaan. Tidak juga harus membaca dan menulis sesuai bidang ilmunya, atau sekedar menulis karya ilmiah (PKM, laporan, skripsi), melainkan bisa tentang berbagai macam tema keilmuan. 

Ada tulisan menarik yang saya baca sewaktu saya mencoba mencari fakta tentang minat baca tulis di Indonesia, yakni tentang peran university press dalam mendukung tridharma perguruan tinggi [1]. University press adalah lembaga penerbit hasil-hasil karya civitas akademika kampus tersebut, bisa dalam bentuk buku, jurnal, maupun audio visual. Setelah membaca tulisan tersebut, ada pertanyaan muncul dalam kepala saya, apakah university press semata-mata digunakan sebagai media penerbit karya dosen?Apakah mahasiswa dapat menerbitkan karyanya melalui university press?. Mahasiswa juga adalah bagian dari civitas akademika, bagian terbesar malah. Mahasiswa juga adalah kaum intelektual, mereka dapat berpikir, berkarya dan berkontribusi. Mereka juga mempunyai kewajiban menaati tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Mereka mempunyai potensi sumber daya yang besar sebagai kontributor dalam meningkatkat karya intelektual di sebuah universitas. Karena itu, menurut saya, mahasiswa juga harus didorong untuk menghasilkan karya intelektual dalam bentuk buku dan sejenisnya yang dapat diterbitkan oleh university press. Pejabat kampus seharusnya mempunyai bagian dalam peran tersebut.

*******
Pewarisan ide atau gagasan pemikiran akan selamanya berlangsung terus menerus jika pemikiran tersebut terangkum abadi dalam sebuah buku atau tulisan. Selain itu, pengekspresian gagasan dalam bentuk tulisan apalagi dapat dijadikan buku akan meningkatkan kapasitas intelektual seorang mahasiswa. Aktivis kampus yang selama ini seringnya berkutat dengan ide atau gagasan pengembangan almamater dalam bentuk verbal semata, menurut saya, harus terus berlatih membudayakan pengekspresian gagasan itu dalam bentuk tulisan yang dapat terdokumentasikan dengan baik. Apalagi jika dapat menerbitkannya dalam bentuk buku. Buku yang tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri, tapi juga dapat ia wariskan kepada generasi selanjutnya. Dan begitulah siklus pewarisan itu terjadi dari generasi ke generasi. Sehingga, suatu saat nanti, saya rasa, di kampus saya nanti, jika ada mahasiswa yang menerbitkan bukunya sendiri, maka tidak ada mahasiswa yang heran dan 'woow', karena semuanya juga telah mempunyai karya bukunya sendiri. 

Saya senang dan bangga karena semakin hari saya menemukan semakin banyak mahasiswa di kampus saya yang mempunyai blog pribadi. Blog pribadi adalah awal dari penumbuhan minat dan budaya menulis dan membaca seseorang. Meskipun mungkin saya tidak melihatnya sendiri, saya semakin berharap akan banyak bermunculan buku-buku tentang berbagai hal hasil karya mahasiswa-mahasiswa dari kampus saya. Suatu saat nanti, semoga. 

Footnote:
[1] Kundharu Saddhono. Peran Penting University Press sebagai Pilar Utama Tridharma Perguruan Tinggi. http://lpp.uns.ac.id/jurnal/012009/ks_v1.swf
[2] http://www.tempo.co/read/news/2012/01/12/079377034/Hanya-1-dari-10-Ribu-Warga-Indonesia-Suka-Membaca
[3] http://www.pestabukujakarta.com/index.php?option=com_content&view=article&catid=14:opini&id=21:minat-baca-siapa-peduli&Itemid=82
[4] http://www.pemustaka.com/masa-depan-budaya-membaca-indonesia.html
[5] http://fathulwahid.wordpress.com/2009/11/01/budaya-membaca-dan-menulis/

by: panca dias purnomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Jangan Baper - Jangan baper kalau kerja. Hubungan antar manusia di tempat kerja, entah dengan rekan, bawahan atau atasan, gak selamanya baik-baik saja. Hubungan kerja, sa...
    4 tahun yang lalu