PENDIDIKAN kemasyarakatan adalah suatu proses transfer keilmuan yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan agar tercipa suasana baik dan harmonis dalam masyarakat.
Pendidikan model ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan, baik yang bergerak pada ranah advokasi sosial, seperti LSM ataupun bergerak pada sosio-religius, seperti pondok pesantren, jamaah pengajian dan jamaah yasinan.
Ada beberapa rekomendasi kepada mahasiswa terkait perannya dalam proses pendidikan kemasyarakatan, yaitu: Sebagai rujukan pengetahuan dalam masyarakat. Kampus bukanlah kumpulan orang-orang terasing dari masyarakat.
Masyarakat kampus adalah bagian dari masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Karenanya, aktivitas mahasiswa harus memperhatikan permasalahan sosial di sekitarnya., khususnya lewat berbagai organisasi mahasiswa yang ada dalam kampus.
Dalam masyarakat kita, orang-orang berpendidikan tinggi masih menjadi rujukan.
Itu artinya setiap jebolan kampus sedikit banyak dapat mempengaruhi persepsi dan ritme kehidupan masyarakat. Tak jarang seorang sarjana selalu menjadi menjadi rujukan pengetahuan bagi masyarakat.
Potensi dan peran ini harus ditangani secara serius oleh kiprah dan aktivitas mahasiswa, yang lazim dinamakan sebagai mahasiswa aktivis.
Berbagai aktivitas sosial-intelektual mahasiswa harus berdaya menelorkan pribadi-pribadi yang dapat membimbing dan mengarahkan masyarakat, untuk kemajuan moral dan material. Dalam bahasa lain, mahasiswa dituntut tidak hanya sebagai agen perubahan (agent of change) tapi juga pengarah perubahan (director of change).
Dalam konteks menjadi pemimpin di masyarakat, mahasiswa harus terbiasa melatih diri dalam unit-unit maupun institusi-institusi yang ada di kampus, seperti lembaga mahasiswa jurusan (LMJ), senat mahasiswa (sema), dewan eksekutif mahasiswa (dema), dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) pada tingkat fakultas maupun universitas, karena kampus merupakan prototipe masyarakat pada umumnya.
Memimpin dan mengarahkan masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Hal itu membutuhkan kecakapan dan keterampilan tidak hanya pada leadership, tetapi juga dibutuhkan akhlakul karimah agar dapat tercapai keharmonisan dalam memimpin masyarakat.
Mahasiswa adalah teladan bagi masyarakat, hal ini penting untuk diperhatikan karena seorang pemimpin -yang dalam hal ini adalah mahasiswa- adalah figur bagi lingkungan kepemimpinannya, terlebih dalam lingkup masyarakat.
Terkait perannya sebagai “filter” dalam perubahan masyarakat, sekarang ini dunia telah menuju pada konsep global village, yaitu sebuah proses peleburan nilai-nilai budaya lokal dan semuanya terukur dengan satu peradaban global, jadi sangat memungkinkan jika khasanah-khasanah lokal yang baik mengalami proses distorsi lalu akhirnya akan menghilang.
Di sinilah peran mahasiswa sebagai alat gerak dalam masyarakat untuk menyaring kebudayaan global yang merusak di satu sisi, tetapi juga melakukan adaptasi di sisi yang lain agar masyarakat tidak tergilas dengan kemajuan zaman.
Sepertinya mahasiswa perlu belajar banyak dari pesantren, yang sudah ratusan tahun mendampingi masyarakat Indonesia dalam proses pendidikan kemasyarakatan dan mempertahankan tradisi kemasyarakatan.
Mahasiswa dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan intelektual serta pemikirannya yang kritis progesif memegang peran kunci dalam proses-proses transfer keilmuan dalam kemasyarakatan.
Pengalaman mereka di kampus cukup untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar pada masyarakat. Mereka telah berlatih dalam organisasi kemahasiswaan kampus juga pernah terjun langsung pada pengabdian masyarakat melalui kuliah kerja nyata.
Mereka dapat menghidupkan kembali lembaga pendidikan kemasyarakatan yang telah lama semakin hilang, yaitu surau dan masjid.
Lobi Andal Mahasiswa sudah terlatih dalam proses-proses membangun relasi dan jaringan dengan baik, apalagi mereka yang pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan kampus, sudah pasti memiliki kemampuan lobi yang andal.
Hal tersebut adalah potensi yang luar biasa sebagai modal awal dalam upaya mengonsolidasikan lembaga-lembaga kemasyarakatan, misalnya pondok pesantren, jamaah pengajian, organisasi kepemudaan sampai pada tingkat organ pemerintahan di desa.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menyatukan persepsi bersama akan pentingnya pendidikan kemasyarakatan dalam upaya besarnya untuk membangun stabilitas sosial dan control terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Mahasiswa juga dianggap sebagai lapisan masyarakat yang memiliki kapasitas intelektual dan kapabilitas hidup yang bisa lebih diharapkan untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Kehadiranya diakui oleh masyarakat, walau mungkin masih ada yang berupa asumsi saja, tetapi penulis melihat ada harap dan asa yang diberikan kepada kalangan ini untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat, terutama dalam pendidikan kemasyarakatan.
Mahasiswa dapat belajar banyak dari realitas sosial masyarakat, tentang karakteristik, metode sampai pada strategi pembelajaran kemasyarakatan yang cocok dalam masyarakat kita ini.
Menurut penulis, pesantren adalah model yang paling sesuai dalam upaya mendampingi masyarakat agar tidak tersapu oleh gelombang globalisasi sekarang ini, karena pondok pesantren sudah terbukti ratusan tahun dapat bertahan dalam segala macam perubahan dalam masyarakat.
Kehadiran pondok pesantren selalu mendapat tempat istimewa dalam hati masyarakat sebagai pola hidup yang ideal dalam kekeringan spiritual sekarang ini.
Mahasiswa dapat menggunakan model pendekatan pendidikan sosial kemasyarakatan yang telah dilakukan olah pesantren, seperti penanaman tradisi yang kuat, terutama tradisi keagamaan di kalangan pesantren tradisional.
Contohnya adalah tradisi tahlilan dan pengajian tiap selapanan (35 hari sekali).
Di sana mahasiswa bisa memanfaatkan momentum untuk mengisi dan menyelipkan suatu pemahaman sosial kemasyarakan yang dapat membangun keharmonisan dan kemajuan komunitas tersebut, misal tentang sikap hidup apa adanya dan sederhana, atau bahkan tentang rencana pembangunan desa.
Secara konseptual, model gerak sosial pesantren yang selalu mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dijadikan bahan analisis mahasiswa dalam mengurai realitas yang terjadi lalu kemudian dijadikan energi positif untuk membangun dan memperkuat ketahanan komunal dalam segala bidang.
Terlebih di era globalisasi sekarang ini yang membuat segalanya serbakompetitif, siapa yang tidak mampu menyesuaikan dengan frame besar global, maka bersiaplah menjadi generasi yang layak punah. (Anas Maulana, Ketua Senat Mahasiswa STAIN Salatiga-10)
Source: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/12/26/92767/19/Mahasiswa-Vs-Pendidikan-Kemasyarakatan
Pendidikan model ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan, baik yang bergerak pada ranah advokasi sosial, seperti LSM ataupun bergerak pada sosio-religius, seperti pondok pesantren, jamaah pengajian dan jamaah yasinan.
Ada beberapa rekomendasi kepada mahasiswa terkait perannya dalam proses pendidikan kemasyarakatan, yaitu: Sebagai rujukan pengetahuan dalam masyarakat. Kampus bukanlah kumpulan orang-orang terasing dari masyarakat.
Masyarakat kampus adalah bagian dari masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Karenanya, aktivitas mahasiswa harus memperhatikan permasalahan sosial di sekitarnya., khususnya lewat berbagai organisasi mahasiswa yang ada dalam kampus.
Dalam masyarakat kita, orang-orang berpendidikan tinggi masih menjadi rujukan.
Itu artinya setiap jebolan kampus sedikit banyak dapat mempengaruhi persepsi dan ritme kehidupan masyarakat. Tak jarang seorang sarjana selalu menjadi menjadi rujukan pengetahuan bagi masyarakat.
Potensi dan peran ini harus ditangani secara serius oleh kiprah dan aktivitas mahasiswa, yang lazim dinamakan sebagai mahasiswa aktivis.
Berbagai aktivitas sosial-intelektual mahasiswa harus berdaya menelorkan pribadi-pribadi yang dapat membimbing dan mengarahkan masyarakat, untuk kemajuan moral dan material. Dalam bahasa lain, mahasiswa dituntut tidak hanya sebagai agen perubahan (agent of change) tapi juga pengarah perubahan (director of change).
Dalam konteks menjadi pemimpin di masyarakat, mahasiswa harus terbiasa melatih diri dalam unit-unit maupun institusi-institusi yang ada di kampus, seperti lembaga mahasiswa jurusan (LMJ), senat mahasiswa (sema), dewan eksekutif mahasiswa (dema), dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) pada tingkat fakultas maupun universitas, karena kampus merupakan prototipe masyarakat pada umumnya.
Memimpin dan mengarahkan masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Hal itu membutuhkan kecakapan dan keterampilan tidak hanya pada leadership, tetapi juga dibutuhkan akhlakul karimah agar dapat tercapai keharmonisan dalam memimpin masyarakat.
Mahasiswa adalah teladan bagi masyarakat, hal ini penting untuk diperhatikan karena seorang pemimpin -yang dalam hal ini adalah mahasiswa- adalah figur bagi lingkungan kepemimpinannya, terlebih dalam lingkup masyarakat.
Terkait perannya sebagai “filter” dalam perubahan masyarakat, sekarang ini dunia telah menuju pada konsep global village, yaitu sebuah proses peleburan nilai-nilai budaya lokal dan semuanya terukur dengan satu peradaban global, jadi sangat memungkinkan jika khasanah-khasanah lokal yang baik mengalami proses distorsi lalu akhirnya akan menghilang.
Di sinilah peran mahasiswa sebagai alat gerak dalam masyarakat untuk menyaring kebudayaan global yang merusak di satu sisi, tetapi juga melakukan adaptasi di sisi yang lain agar masyarakat tidak tergilas dengan kemajuan zaman.
Sepertinya mahasiswa perlu belajar banyak dari pesantren, yang sudah ratusan tahun mendampingi masyarakat Indonesia dalam proses pendidikan kemasyarakatan dan mempertahankan tradisi kemasyarakatan.
Mahasiswa dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan intelektual serta pemikirannya yang kritis progesif memegang peran kunci dalam proses-proses transfer keilmuan dalam kemasyarakatan.
Pengalaman mereka di kampus cukup untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar pada masyarakat. Mereka telah berlatih dalam organisasi kemahasiswaan kampus juga pernah terjun langsung pada pengabdian masyarakat melalui kuliah kerja nyata.
Mereka dapat menghidupkan kembali lembaga pendidikan kemasyarakatan yang telah lama semakin hilang, yaitu surau dan masjid.
Lobi Andal Mahasiswa sudah terlatih dalam proses-proses membangun relasi dan jaringan dengan baik, apalagi mereka yang pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan kampus, sudah pasti memiliki kemampuan lobi yang andal.
Hal tersebut adalah potensi yang luar biasa sebagai modal awal dalam upaya mengonsolidasikan lembaga-lembaga kemasyarakatan, misalnya pondok pesantren, jamaah pengajian, organisasi kepemudaan sampai pada tingkat organ pemerintahan di desa.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menyatukan persepsi bersama akan pentingnya pendidikan kemasyarakatan dalam upaya besarnya untuk membangun stabilitas sosial dan control terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Mahasiswa juga dianggap sebagai lapisan masyarakat yang memiliki kapasitas intelektual dan kapabilitas hidup yang bisa lebih diharapkan untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Kehadiranya diakui oleh masyarakat, walau mungkin masih ada yang berupa asumsi saja, tetapi penulis melihat ada harap dan asa yang diberikan kepada kalangan ini untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam masyarakat, terutama dalam pendidikan kemasyarakatan.
Mahasiswa dapat belajar banyak dari realitas sosial masyarakat, tentang karakteristik, metode sampai pada strategi pembelajaran kemasyarakatan yang cocok dalam masyarakat kita ini.
Menurut penulis, pesantren adalah model yang paling sesuai dalam upaya mendampingi masyarakat agar tidak tersapu oleh gelombang globalisasi sekarang ini, karena pondok pesantren sudah terbukti ratusan tahun dapat bertahan dalam segala macam perubahan dalam masyarakat.
Kehadiran pondok pesantren selalu mendapat tempat istimewa dalam hati masyarakat sebagai pola hidup yang ideal dalam kekeringan spiritual sekarang ini.
Mahasiswa dapat menggunakan model pendekatan pendidikan sosial kemasyarakatan yang telah dilakukan olah pesantren, seperti penanaman tradisi yang kuat, terutama tradisi keagamaan di kalangan pesantren tradisional.
Contohnya adalah tradisi tahlilan dan pengajian tiap selapanan (35 hari sekali).
Di sana mahasiswa bisa memanfaatkan momentum untuk mengisi dan menyelipkan suatu pemahaman sosial kemasyarakan yang dapat membangun keharmonisan dan kemajuan komunitas tersebut, misal tentang sikap hidup apa adanya dan sederhana, atau bahkan tentang rencana pembangunan desa.
Secara konseptual, model gerak sosial pesantren yang selalu mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dijadikan bahan analisis mahasiswa dalam mengurai realitas yang terjadi lalu kemudian dijadikan energi positif untuk membangun dan memperkuat ketahanan komunal dalam segala bidang.
Terlebih di era globalisasi sekarang ini yang membuat segalanya serbakompetitif, siapa yang tidak mampu menyesuaikan dengan frame besar global, maka bersiaplah menjadi generasi yang layak punah. (Anas Maulana, Ketua Senat Mahasiswa STAIN Salatiga-10)
Source: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/12/26/92767/19/Mahasiswa-Vs-Pendidikan-Kemasyarakatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar