Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Senin, 21 April 2014

Recovery (1) : Bersyukur

Welcome Monday!. Senin??!!, yeahhhh!!.  I love Monday *selfperception*. Tidak terasa, Senin kembali menyapa. Setelah libur 3 hari yang menginspirasi, kini saya kembali harus menatap dunia nyata. Seperti biasa, saya bergegas menuju stasiun kereta, berjalan kaki dan melintasi jalanan penuh kendaraan beroda. Tiba di stasiun pukul 06.25. Tidak lama kereta pun tiba, saya berdesakan, sedikit memaksa untuk masuk dalam rangakian gerbong kereta. Kereta sudah penuh, tidak ada cara lebih sopan lainnya untuk masuk. Mendorong dan mendesak lebih sopan dibanding harus menerjang atau memaksa dengan teriakan. Tergencet ditengah kerumunan manusia dan terpepet daun pintu gerbong sudah biasa. Ketika kereta condong karena harus berbelok, tekanannya jadi luar biasa. Seperti tertindih berton-ton baja. 

Obrolan dengan kedua kakak perempuan saya, Minggu (20 April 2014) kembali terngiang. Bagaimana perjuangan dan penderitaaan mereka semenjak kecil membuat saya berpikir: "Apa yang saya lakukan ini tidaklah ada apa-apanya". Apalagi jika terbayang kerasnya Bapak saya bekerja, mencangkul dan mengolah sawah di desa, ahhh....malu rasanya saya mengutuk atau sekedar mengeluh tentang hidup saya. 

Dibawah tanah masih ada tanah. Ungkapan ini kembali mengingatkan saya betapa sejujurnya hidup saya ini jauh lebih beruntung dibandingkan beberapa orang diluar sana. Pemandangan sepanjang pinggiran rel kereta menuju tempat kerja membuktikan bahwa kalimat saya sebelumnya benar adanya: saya jauh lebih beruntung

Saya melihat deretan rumah kumuh di pinggir rel kereta. Beratapkan terpal dan berdinding triplek. Onggokan sampah-sampah dan botol-botol bekas dimana-mana. Seorang ibu-ibu sedang memompa kran air dari sumur untuk mencuci dan seorang pria paruh baya sedang membersihkan gerobaknya. Baju-baju dijemur berjajar diatas "atap" rumah-rumah itu. Melihat pemandangan seperti ini, kembali saya diingatkan betapa saya seharusnya lebih bersyukur dengan hidup saya. Meskipun belum punya rumah sendiri, saya tinggal dirumah kakak saya yang sangat layak. Semuanya ada. Sejelek-jeleknya rumah keluarga saya, masih jauh lebih layak rumah keluarga saya. Tidak ada diantara kami yang mempunyai rumah beratap terpal dan berdinding triplek. Bayangkan, apa lagi yang kurang?.

Kereta yang membawa saya menuju tempat kerja selalu melewati beberapa sungai, baik kecil atau besar. Ada sebuah sungai kecil yang selalu saya lihat setiap kali berangkat kerja. Entah sungai apa namanya. Air sungai ini warnanya kehitam-hitaman. Airnya tenang, mengendap, dan tidak mengalir. Jelas, siapa yang melihatnya akan berkesimpulan air itu sangat tercemar. Sepanjang sungai, tumpukan sampah bertebaran dimana-mana. Selalu saja ada pemandangan yang menusuk hati saya, yakni seorang lelaki yang jongkok dipinggir sungai untuk buang air besar. Bajai lusuh terparkir di atas talut sungai. Lelaki ini adalah sopir bajai pastinya. 

Sekali lagi hati saya tertampar. Meski miris, namun saya bersyukur. Saya selalu dapat buang air dan mandi di tempat yang sangat layak. Belum pernah saya harus seberjuang itu hanya untuk buang air besar. Di sungai yang lebih besar, airnya berwarna coklat pekat dan pemandangan yang saya lihat pun tidak jauh berbeda. Ada seorang lelaki yang sedang mandi. Terkadang saya melihat juga seorang wantia paruh baya mencuci pakaian di pinggir sungai itu. Haruskah sekedar untuk buang air dan mandi mereka harus ditempat terbuka dan di sungai seperti itu?. Haruskah sekedar mencuci pakaian mereka harus di sungai kotor itu?. Kembali saya bersyukur, selama ini saya tidak harus bersusah-susah buang air besar dan mandi disungai seperti itu. Apalagi mencuci baju, saya cukup memasukkannya ke mesin cuci, atau ke jasa londri kalau mau. Well, apa yang kurang dari saya?. Saya tidak pernah harus sebegitunya sekedar untuk mandi, buang air, dan mencuci, bukan?. 

##BTW, itulah pemandangan umum di Ibu Kota Jakarta. Di tengah sibuknya lalu lintas penuh mobil pribadi nan mewah, motor berjuta-juta, serta gedung-gedung pencakar langit, pemandangan seperti itu lumrah ditemui##

Saya pernah hidup didaerah terpencil. Buang air besar, mandi, dan mencuci kadang memang butuh perjuangan. Namun rasa-rasanya tidak sebegitunya seperti orang-orang itu. Meski terpencil, air sungai untuk mencuci baju sangatlah bersih. Walaupun harus berjalan sekolah untuk buang air besar, air bersih dan toilet masihlah ada. Meskipun saya harus mandi disungai, namun air dan tempatnya bersih. Di atas itu semua, saya melakukannya karena memang sejak awal saya sendiri yang memilih untuk hidup didaerah terpencil.

Memasuki stasiun Jatinegara, dibawah jalan tol, pemandangan miris lainnya setiap hari saya temui. Anak-anak remaja, dewasa, bahkan ibu-ibu, sedang tidur diatas papan kayu tanpa selimut, kasur, apalagi bantal. Pakaian mereka nampak kusut. Suara raungan dan gesekan kereta tidak membuat mereka terbangun. Mereka nyenyak tidur di dalam mimpi sendiri. Harus saya akui lagi, apa yang kurang dari hidup saya?. Untuk sekedar tidur, saya tidak pernah harus seperti itu. Saya masih bisa tidur di kasur empuk dan di dalam kamar.

Di Jakarta, ketika berjalan di pusat-pusat keramaian, seperti stasiun ataupun pasar, pengemis akan sangat mudah ditemui. Banyak jenis dan ragamnya. Pernah suatu ketika saya melihat seorang pengemis yang tidak mempunyai kedua kakinya. Ia "berjalan" dengan menyeret badannya dengan kedua tangan. Miris, namun sekali lagi saya bersyukur. Apa yang kurang dari saya?. Saya mempunyai anggota badan yang lengkap. Tidak kurang suatu apa. Lebih dari itu, untuk sekedar makan, saya tidak pernah harus meminta-minta ke orang lain dan bekerja sekeras orang itu. Saya punya pekerjaan yang nyaman, duduk tenang dikantor ber-AC, berpakain rapi, dan bergaji lumayan. Apa lagi yang kurang?. 

Dari semua hal yang saya pernah alami hingga detik ini, tidak ada yang lebih berat dibandingkan kehidupan orang-orang ini. Seberat apapun masalah saya, toh saya masih bisa makan, tidur, berpakain, bekerja, dan melakukan apa yang saya suka. Masih bisa nonton dan jalan-jalan lagi. Kebutuhan dasar dan pelengkap masih bisa saya penuhi. Bayangkan orang-orang tadi, sekedar memenuhi kebutuhan dasar saja mereka perlu usaha keras. Lalu, apa yang kurang dari saya?. 

Ya, yang kurang dari saya dan mungkin banyak orang lain seperti saya adalah rasa syukur. Dibawah tanah masih ada tanah. Terkadang kita berpikir, hidup kita terasa sangat berat. Beban hidup kita terasa tak lagi mampu kita pikul. Masalah hidup kita tak lagi mampu kita selesaikan. Kita sering hanya fokus pada masalah dan beban hidup kita, sedangkan kita sering lupa betapa masih banyak yang kita punya dalam hidup kita: keluarga, teman-teman, pendidikan, rumah, pekerjaan, dll. 

Allah sudah berjanji bahwa IA tidak akan pernah membebani seseorang melebihi kemampuan hamba-NYA. Jadi, jika sekarang kita punya masalah dan beban hidup, cobalah tengok orang-orang diluar sana yang hanya untuk bertahan hidup saja mereka harus berjuang mati-matian. Pikirkanlah itu. Kurang apa lagi hidup kita ini?.

Apa yang tidak membuatmu mati, akan membuatmu lebih kuat. What doesn't kill you makes you stronger. Masalah atau beban hidup yang tidak membunuhmu, percayalah akan membuatmu belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga, Amin.

-Catatan Perjalanan Hidup-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu