Jumat (18 April 2014) bisa saya katakan adalah salah satu hari spesial di bulan April ini. Selain di hari itu adalah libur kerja, di hari itu pula saya bertemu kembali dengan teman-teman seorganisasi pas kuliah dulu; BEM KM UNDIP 2011. Acara meet up ini bermula dari obrolan ringan di group whatsup PSDM. Akhirnya kami menyepakati untuk bertemu. Kami bertemu di Kebun Binatang Ragunan. Tidak semua anggota PSDM bisa datang memang, namun acara meet up Jumat kemarin berasa sangat manfaatnya.
Frienship is more than just a word |
Itulah untuk kali pertama saya bertemu mereka setelah saya lulus. Hampir dua tahun kami tidak bertemu. Hanya sesekali paling beradu sapa di media social. Kita tidak pernah tahu apa yang dialami seseorang selain orang itu sendiri dan Tuhan tentunya. Semua peristiwa hidup seseorang dapat membuatnya berubah. Ya, semua orang berubah, everybody change. Termasuk teman-teman saya ini. Ada yang berubah penampilannya, ada pula yang berubah pemikirannya. Untuk yang terakhir ini, mungkin saya salah satunya. Namun ada juga yang kelihatannya masih sama seperti dulu.
Ahlan Zulfahri adalah contoh nyata perubahan. Gaya dan pemikirannya masih sama, yang berubah adalah ukuran tubuhnya #hehehe. Ia adalah aktivis sejati, obrolannya tidak jauh-jauh dari inisiatif dan ide. Ia punya cita-cita besar membangun dunia maritim Indonesia. Two thumbs up buat Ahlan. Bicara tentang perubahan ukuran tubuh, saya sudah menemukan beberapa kasus yang sama dengan beberapa teman lama yang saya temui. Saya lumayan terkesima dengan perubahan ukuran tubuh, karena menurut penelitian badan laki-laki yang membesar itu disebabkan karena ia sudah nyaman dan bahagia. Woow, Alhamdulillah, teman-teman saya sudah banyak yang hidup bahagia. Saya tidak mengatakan jika saya tidak bahagia hanya karena badan saya tidak kunjung membesar. Meskipun, tidak bisa terelakkan, mayoritas teman lama mengatakan saya lebih kurus sekarang. Berat badan saya tidak kunjung menyentuh 60 Kg tiap kali timbang badan, padahal dulu saat kuliah berat badan saya seputaran 63 Kg.
Mandala Siliwangi adalah sosok nyata perubahan sikap dan cara berpikir. Lulus dari Teknik Sipil dan bekerja di bidang kontruksi, membuatnya tidak terlihat seperti anak teknik. Ia sekarang terlihat seperti Ustadz. Jenggot di dagunya cukup panjang, kumisnya dicukur rapi. Pakaiannya baju koko dan celananya diatas mata kaki. Subhanallah. Alhamdulillah. Mandala, salah satu anak PSDM yang sering ngumpul dan main bersama saya dulu. Dulu, ia lebih sering memakai celana jeans, jeans yang sudah lusuh dan bolong di mana-mana. Belum pernah ia memelihara jenggot. Ketika ngobrol pun, ia salah satu teman dan adek saya yang suka nge-banyol. Dia adalah mahasiswa gaul. Sekarang Mandala sudah melamar seorang gadis (akhwat). Ia sudah siap akan menikah. Karena cerita Mandala pula lah, hari itu obrolan kami tidak jauh-jauh dari pernikahan dan tetek bengeknya. Saya cukup salut kepadanya atas perubahan positif dan kemajuan setahap dari saya, yaitu Menikah #hahaha.
Kami berjalan mengelilingi Ragunan, melihat berbagai satwa langka dari penjuru Indonesia bahkan dunia. Ketika hari menjelang sore, hujan deras turun dan kami dipaksa harus berteduh di selasar kandang Leopard. Kami duduk melingkar dan makan snack yang kami bawa. Selesai makan, kami bersepakat untuk saling berbagi cerita tentang kesibukan dan cita-cita masing-masing. Sudah lama kami tidak saling memberi kabar dan berbagi mimpi lagi. Cerita teman-teman cukup kembali mengisi ulang semangat saya dan mempositifkan kembali perspektif saya tentang dunia dan masa depan.
Yahh...karena mungkin mayoritas dari kami sudah lulus kuliah, sudah bekerja, dan sudah matang, obrolan kami akhirnya berujung lagi pada hal ihwal pernikahan. Entahlah bagaimana, saya mengikuti alur obrolannya saja. Bahkan obrolan kami masih berlanjut ke makan malam, hingga selesai pukul 21.30.
Meski begitu, ada satu hal yang saya simpulkan sendiri dari obrolan kami itu. Yaa, setahunan ini saya mengakui memang, kehidupan saya jauh dari persepsi ala mereka ini. Paham kan maksud saya?. Rekan-rekan saya ini masih bergumul dengan gaya pemikiran yang sama seperti saat masih dikampus. Atau mungkin juga pemikiran mereka sudah sebegitu kuatnya sehingga ketika berbaur dengan corak pemikiran heterogen tidak membuatnya tercampur. Semenjak lulus, saya bergumul dengan banyak gaya pemikiran, dan saya akui saya tidak lagi menganggap pemikiran semasa ngampus dulu relevan dengan diri saya sepenuhnya. Tidak berarti saya menolak semuanya, bukan, namun ada beberap hal yang tidak saya suka dan tidak ingin berkomitmen disana.
Saya setuju dan mengakui serta ingin mengikuti menjadi manusia yang lebih baik dengan cara terus meningkatkan kapasitas keilmuaan, baik ilmu dunia ataupun agama. Setahunan ini, sisi rohani cukup terabaikan dan membuat saya sering gelisah. Mungkin kegelisahan ini yang membuat pikiran saya sering memberontak hingga akhirnya membuat persepsi terhadap diri saya sendiri memburuk. Pertemuan dengan teman-teman yang masih konsisten tersentuh pemikiran semasa kuliah, kembali menguatkan keinginan saya bahwa saya ingin memperbaiki sisi rohani saya. Saya butuh itu demi ketenangan dan kedamaian jiwa saya. Bukan untuk menjadi orang yang fanatik terhadap arus pemikiran dan paham tertentu, namun untuk jadi orang shalih. Bukan juga untuk membanggakan simbol dan figur tertentu kemudian dicap sebagai simpatisan atau kader. Saya hanya ingin memperbaiki sisi rohani saya.
Diskusi dengan rekan-rekan saya ini mengembalikan lagi cara pandang saya tentang pasangan hidup ideal yang dulu sempat saya hidupkan dalam pemikiran saya. Setelah sempat "tersandung" dengan sesuatu yang tidak relevan dengan cara pandang saya yang dulu, dan mulai permisif dengan pandangan-pandangan saya, perlahan-lahan saya kembali mengakui bahwa saya salah. Saya seharusnya tidak sepermisif itu, dan seharusnya saya bisa menjaga pemikiran dan prinsip saya dengan lebih baik. Bermain api akan melepuh dan bermain air akan basah.
Saya merasa kini bahwa pemikiran dan cara pandang saya yang dulu itulah yang sebenarnya sesuai dengan diri saya. Ketika saya memaksakan bahwa saya bisa mentolerir itu, justru yang terjadi saya menyiksa diri saya sendiri. Seharusnya saya tidak bermain-main dengan ini. Katakan begini, saya sudah tahu jika saya tidak suka memakai baju gaul dan aksesoris gaul, namun agar dibilang tidak ketinggalan jaman, saya dengan sadar memakai dan menggunakannya. Akhirnya saya sendiri yang tersiksa dan kehilangan jati diri.
Begitulah, dan pada ujungnya saya sendiri yang dapat menilai mana yang membuat saya nyaman dan tidak. Dan saya katakan sekarang yang membuat saya nyaman, dibeberapa prinsip hidup saya, adalah cara berpikir seperti rekan-rekan saya ini. Salah satunya adalah prinsip bahwa "ibadahnya istri adalah dengan melayani suami". Rekan saya yang mengatakan ini, dan saya meyakini sekali lagi bahwa tidak ada orang lain yang saya inginkan sekarang untuk menemani hidup saya selain orang yang mempunyai prinsip dan cara berpikir seperti itu. Tidak ada yang lain, karena ketika saya permisif dan mentolerir prinsip dasar ini, yang terjadi adalah siksaan bagi diri sendiri. Satu frekuensi, itu intinya.
Kini cara terbaik untuk menemukannya akhirnya adalah menjadi pribadi yang lebih baik. No more, no less, no jalan pintas!.
-Catatan Perjalanan Hidup-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar