Saya berdiri didepan mereka, sekitar 20 an anak berhadapan dengan saya dalam susunan barisan rapi agak melingkar. Saya pandangi wajah dan ekspresi mereka, biasa saja, tidak ada yang luar biasa, hanya sesekali terlihat senyum, bisik-bisik dan obrolan kecil diantara mereka. Saya memulai berbicara, memaparkan panjang lebar tentang esensi mahasiswa sesungguhnya, motivasi, sejarah, dan fungsi dasar dari Badan Eksekutif Mahasiswa. Sepanjang persentasi, saya mencoba untuk terus memancing keberanian mereka dalam menyampaikan pendapat dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan tentang kata-kata yang saya tampilkan di slide. Mulai dari “Menurut kalian, tugas BEM tu ngapain si?”, “Yang dimaksud peran politik mahasiswa tu apa?, ada yang bisa memberi jawaban?”, dan banyak pertanyaan pemancing pendapat mereka lainnya. Namun, kata-kata sepertinya masih sulit terucap dari mulut mereka, walaupun mereka mengeluarkan pendapat dengan saya beri pertanyaan satu demi satu. Saya berpikir mereka adalah orang-orang terbaik disetiap prodi dan angkatannya, mahasiswa yang diterima di BEM FPIK tahun ini benar-benar melalui seleksi ketat, sehingga yang lolos tentu memiliki kualitas diatas rata-rata. Tapi sepanjang saya berbicara, tidak ada satupun yang memberi tanggapan sebelum saya minta, bahkan meskipun telah saya minta untuk berargumen masih sulit melihat kelantangan mereka dalam berargumen. Sepertinya mereka masih terlihat canggung, tidak PD dan ragu-ragu, entahlah apa yang mereka pikirkan saat itu, tidak berani atau bahkan mungkin tidak tahu.
Kepasifan dalam forum rapat, diskusi, kuliah, persentasi atau forum-forum yang lainnya nampaknya masih menjadi budaya dilingkungan kampus, khususnya yang saya lihat selama hampir 3 tahun ini di Universitas Diponegoro. Rapat yang menjadi sarana untuk bermusyawarah, menyampaikan pendapat, berargumen mencari solusi tepat menjadi tidak efisien karena terkesan hanya 1 arah saja, yaitu si pemimpin rapat ngomong sendiri tanpa ada tanggapan dari peserta rapat sebelum si pemimpin rapat bertanya kepada peserta. Bahkan walaupun sudah ditanya apakah ada yang ingin disampaikan atau tidak masih saja terkadang tetap tidak ada argumen. Apalagi, kalau kita lihat kondisi perkuliahan di kelas, pada saat dosen memberi kesempatan mahasiswa bertanya, semuanya diam, mulut terkunci dan mata menunduk, padahal jika dosen mulai menjelaskan semuanya sibuk mengobrol dengan teman sebelahnya sendiri. Kepala mengangguk-angguk tanda setuju atau mungkin pura-pura mengerti atas apa yang diterangkan dosen. Ketika ditanya dosen, jawabannya tidak tahu atau malah diam membisu seperti batu. Budaya sepeti ini lah yang ada di kampus kita, saya rasa tidak hanya di UNDIP tapi disemua PT di seluruh Indonesia. Sehingga, ada anekdot mengatakan orang Indonesia terkenal pemalu, pendiam, pasif dan cenderung setuju dengan apa yang disampaikan lawan bicara dibandingkan dengan orang Eropa dan Amerika yang blak-blakan menyampaikan pendapat bahkan sebelum pembicara memberi kesempatan bertanya. Mungkin saja hal itu benar.
Sejarah membuktikan bahwa manusia hebat dan berpengaruh di dunia ini adalah orang yang mampu menyampaikan pendapatnya dengan baik, lancar, berkarakter dan berani sehingga dapat menghipnotis orang lain untuk memahami dan melakukan setiap kata-katanya itu. Kata-kata yang diucapkan baik diksi, intonasi, irama, maupun ekspresi merupakan representasi dari dalam diri kita. Prestasi dapat diraih, salah satunya dengan kemampuan menyampaikan pendapat di depan umum dengan baik. Keberanian dalam menyampaikan pendapat adalah sesuatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang mahasiswa apalagi seorang aktifis mahasiswa. Kemampuan berargumen harus diasah sejak dini agar kematangan dalam berbicara dapat diperoleh suatu saat nanti, cepat atau lambat. Keberanian berbicara muncul dari rasa percaya diri. Kepercayaan terhadap diri sendiri yang tinggi menumbuhkan keinginan kuat untuk mengungkapkan pendapat terhadap orang lain, baik itu berupa argumen, pertanyaan, sanggahan atau berupa kritikan. Kecakapan dalam berbicara dan menyampaikan pandapat, tidak bisa didapat 1-2 hari saja melainkan dalam waktu lama melalui kebiasaan yang terus dilatih dan diasah. Forum diskusi, rapat, debat, kuliah, seminar, sesion tanya jawab, adalah beberapa momen yang sangat tepat untuk menumbuhkan dan melatih kecakapan berargumen. Dua orang yang memiliki kemampuan pengetahuan dan teknis yang sama, dinilai lebih jika satu diantaranya mempunyai kemampuan meyampaikan pendapat jauh lebih baik dari yang lainnya. Oleh karena itu, berargumen atau menyampaikan pendapat dengan cara berbicara sangat penting ditumbuhkan dalam setiap individu khususnya mahasiswa agar tercipta atmosfer yang dinamis, aktif, kritis dan solutif. Budaya argumentatif harus diterapkan tidak pada rapat atau diskusi saja melainkan dalam kuliah dikelas oleh dosen. Saya sering kasihan jika ada dosen yang berusaha mengajar secara interaktif namun ternyata tidak mendatangkan respon aktif dari mahasiswa. Saya dapat merasakan, betapa sedih dan sakitnya hati dosen itu.
Berpikir kritis disetiap kesempatan pun sangat penting. Sebagai pendengar kita tidak boleh jika hanya mengangguk kepala begitu saja atau dengan isyarat setuju lainnya atas pendapat yang dikeluarkan si pembicara kepada kita. Kita harus menganalisa kalimat yang disampaikan dan segera memberi tanggapan jika itu tidak sesuai dengan pikiran kita, bisa dengan sanggahan, konfirmasi, pertanyaan, penegasan atau penjelasan ulang. Suatu contoh kasus yang sering kita temui, rapat akan dilangsungkan selama 1 jam. Pemimpin rapat memulai pukul 16.00, selama rapat si pemimpin rapat terus saja berbicara menyampaikan pembahasan agenda rapat hingga pukul 16.45, tanpa ada peserta rapat yang berargumen sama sekali. Baru setelah itu pemimpin rapat bertanya “Ada yang ingin disampaikan, atau ada tanggapan tentang pembahasan tadi?”. Setelah itu lah peserta rapat memberi tanggapan. Contoh lain, saat kuliah dikelas, si dosen seringnya memberi penjelasan hingga selesai sekitar 1 jam 30 menit, tanpa ada pertanyaan, tanggapan atau apa pun yang disampaikan mahasiswa di tengah- tenag kulih. Kemudian dipenghujung kuliah, si dosen tsb baru memberi kesempatan mahasiswa untuk bertanya. Kira2 menurut Anda, Apakah hal ini yang terjadi dinegara kita?efektif dan efesienkah metode seperti ini?siapa yang salah?pembicara, pemimpin rapat, dosen, ataukah peserta/mahasiswanya?
Kita harus menumbuhkan sikap kritis pada apapun yang orang lain sampaikan. Tidak hanya sekedar mendengarkan, memberi isyarat mengerti, tanpa berusaha sedikitpun untuk menganalisa hal-hal yang disampaikan pembicara, kemudian dengan segera kita menyampaikannnya kepada lawan bicara. Budaya mahasiswa kita masih seperti itu, yaitu sekedar mendengarkan, mencatat, mengangguk, kemudian selesai begitu saja. Atau bahkan jika ada pertanyaan, itu masih selayaknya basi-basi atau pertanyaan tidak mutu. Pola berpikir kritis harus ditumbuhkan dalam diri mahasiswa khususnya para aktifis yang berkecimpung didunia organisasi mahasiswa. Suasana rapat yang pasif, satu arah, dan cenderung membosankan harus diubah dengan cara meningkatkan sikap kritis dan tanggap pada hal-hal yang disampaikan pemimpin rapat, tidak menunggu diberi kesempatan oleh pemimpin rapat namun saat ada hal yang mengganjal langsung sampaikan. Dengan demikian, rapat yang efektif dan efisien melibatkan seluruh peserta rapat secara aktif dapat dicapai sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan pemikiran bersama bukan 1 pihak saja. Begitu juga pada saat kuliah, kita harus aktif dan kritis atas ilmu yang disampaikan dosen. Beri tanggapan pada setiap statemen dosen yang belum kita ketahui atau menurut kita tidak sesuai dengan pemahaman kita. Dengan begitu, suasana kelas akan lebih dinamis, aktif, sebagai bentuk perhatian penuh mahasiswa pada materi yang diajarkan dosen.
By: Panca Dias Purnomo
Presiden BEM FPIK UNDIP 2010
pancadp@gmail.com
Kepasifan dalam forum rapat, diskusi, kuliah, persentasi atau forum-forum yang lainnya nampaknya masih menjadi budaya dilingkungan kampus, khususnya yang saya lihat selama hampir 3 tahun ini di Universitas Diponegoro. Rapat yang menjadi sarana untuk bermusyawarah, menyampaikan pendapat, berargumen mencari solusi tepat menjadi tidak efisien karena terkesan hanya 1 arah saja, yaitu si pemimpin rapat ngomong sendiri tanpa ada tanggapan dari peserta rapat sebelum si pemimpin rapat bertanya kepada peserta. Bahkan walaupun sudah ditanya apakah ada yang ingin disampaikan atau tidak masih saja terkadang tetap tidak ada argumen. Apalagi, kalau kita lihat kondisi perkuliahan di kelas, pada saat dosen memberi kesempatan mahasiswa bertanya, semuanya diam, mulut terkunci dan mata menunduk, padahal jika dosen mulai menjelaskan semuanya sibuk mengobrol dengan teman sebelahnya sendiri. Kepala mengangguk-angguk tanda setuju atau mungkin pura-pura mengerti atas apa yang diterangkan dosen. Ketika ditanya dosen, jawabannya tidak tahu atau malah diam membisu seperti batu. Budaya sepeti ini lah yang ada di kampus kita, saya rasa tidak hanya di UNDIP tapi disemua PT di seluruh Indonesia. Sehingga, ada anekdot mengatakan orang Indonesia terkenal pemalu, pendiam, pasif dan cenderung setuju dengan apa yang disampaikan lawan bicara dibandingkan dengan orang Eropa dan Amerika yang blak-blakan menyampaikan pendapat bahkan sebelum pembicara memberi kesempatan bertanya. Mungkin saja hal itu benar.
Sejarah membuktikan bahwa manusia hebat dan berpengaruh di dunia ini adalah orang yang mampu menyampaikan pendapatnya dengan baik, lancar, berkarakter dan berani sehingga dapat menghipnotis orang lain untuk memahami dan melakukan setiap kata-katanya itu. Kata-kata yang diucapkan baik diksi, intonasi, irama, maupun ekspresi merupakan representasi dari dalam diri kita. Prestasi dapat diraih, salah satunya dengan kemampuan menyampaikan pendapat di depan umum dengan baik. Keberanian dalam menyampaikan pendapat adalah sesuatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang mahasiswa apalagi seorang aktifis mahasiswa. Kemampuan berargumen harus diasah sejak dini agar kematangan dalam berbicara dapat diperoleh suatu saat nanti, cepat atau lambat. Keberanian berbicara muncul dari rasa percaya diri. Kepercayaan terhadap diri sendiri yang tinggi menumbuhkan keinginan kuat untuk mengungkapkan pendapat terhadap orang lain, baik itu berupa argumen, pertanyaan, sanggahan atau berupa kritikan. Kecakapan dalam berbicara dan menyampaikan pandapat, tidak bisa didapat 1-2 hari saja melainkan dalam waktu lama melalui kebiasaan yang terus dilatih dan diasah. Forum diskusi, rapat, debat, kuliah, seminar, sesion tanya jawab, adalah beberapa momen yang sangat tepat untuk menumbuhkan dan melatih kecakapan berargumen. Dua orang yang memiliki kemampuan pengetahuan dan teknis yang sama, dinilai lebih jika satu diantaranya mempunyai kemampuan meyampaikan pendapat jauh lebih baik dari yang lainnya. Oleh karena itu, berargumen atau menyampaikan pendapat dengan cara berbicara sangat penting ditumbuhkan dalam setiap individu khususnya mahasiswa agar tercipta atmosfer yang dinamis, aktif, kritis dan solutif. Budaya argumentatif harus diterapkan tidak pada rapat atau diskusi saja melainkan dalam kuliah dikelas oleh dosen. Saya sering kasihan jika ada dosen yang berusaha mengajar secara interaktif namun ternyata tidak mendatangkan respon aktif dari mahasiswa. Saya dapat merasakan, betapa sedih dan sakitnya hati dosen itu.
Berpikir kritis disetiap kesempatan pun sangat penting. Sebagai pendengar kita tidak boleh jika hanya mengangguk kepala begitu saja atau dengan isyarat setuju lainnya atas pendapat yang dikeluarkan si pembicara kepada kita. Kita harus menganalisa kalimat yang disampaikan dan segera memberi tanggapan jika itu tidak sesuai dengan pikiran kita, bisa dengan sanggahan, konfirmasi, pertanyaan, penegasan atau penjelasan ulang. Suatu contoh kasus yang sering kita temui, rapat akan dilangsungkan selama 1 jam. Pemimpin rapat memulai pukul 16.00, selama rapat si pemimpin rapat terus saja berbicara menyampaikan pembahasan agenda rapat hingga pukul 16.45, tanpa ada peserta rapat yang berargumen sama sekali. Baru setelah itu pemimpin rapat bertanya “Ada yang ingin disampaikan, atau ada tanggapan tentang pembahasan tadi?”. Setelah itu lah peserta rapat memberi tanggapan. Contoh lain, saat kuliah dikelas, si dosen seringnya memberi penjelasan hingga selesai sekitar 1 jam 30 menit, tanpa ada pertanyaan, tanggapan atau apa pun yang disampaikan mahasiswa di tengah- tenag kulih. Kemudian dipenghujung kuliah, si dosen tsb baru memberi kesempatan mahasiswa untuk bertanya. Kira2 menurut Anda, Apakah hal ini yang terjadi dinegara kita?efektif dan efesienkah metode seperti ini?siapa yang salah?pembicara, pemimpin rapat, dosen, ataukah peserta/mahasiswanya?
Kita harus menumbuhkan sikap kritis pada apapun yang orang lain sampaikan. Tidak hanya sekedar mendengarkan, memberi isyarat mengerti, tanpa berusaha sedikitpun untuk menganalisa hal-hal yang disampaikan pembicara, kemudian dengan segera kita menyampaikannnya kepada lawan bicara. Budaya mahasiswa kita masih seperti itu, yaitu sekedar mendengarkan, mencatat, mengangguk, kemudian selesai begitu saja. Atau bahkan jika ada pertanyaan, itu masih selayaknya basi-basi atau pertanyaan tidak mutu. Pola berpikir kritis harus ditumbuhkan dalam diri mahasiswa khususnya para aktifis yang berkecimpung didunia organisasi mahasiswa. Suasana rapat yang pasif, satu arah, dan cenderung membosankan harus diubah dengan cara meningkatkan sikap kritis dan tanggap pada hal-hal yang disampaikan pemimpin rapat, tidak menunggu diberi kesempatan oleh pemimpin rapat namun saat ada hal yang mengganjal langsung sampaikan. Dengan demikian, rapat yang efektif dan efisien melibatkan seluruh peserta rapat secara aktif dapat dicapai sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan pemikiran bersama bukan 1 pihak saja. Begitu juga pada saat kuliah, kita harus aktif dan kritis atas ilmu yang disampaikan dosen. Beri tanggapan pada setiap statemen dosen yang belum kita ketahui atau menurut kita tidak sesuai dengan pemahaman kita. Dengan begitu, suasana kelas akan lebih dinamis, aktif, sebagai bentuk perhatian penuh mahasiswa pada materi yang diajarkan dosen.
By: Panca Dias Purnomo
Presiden BEM FPIK UNDIP 2010
pancadp@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar