"Blessed are those that can give without remembering and receive without forgetting"
Pages
Rabu, 24 Agustus 2011
Rindu, Kau kembali
Selasa, 23 Agustus 2011
Cewek itu Ternyata Seniorku
Dia mengamatiku sebentar yang terlihat masih kusut ini, kemudian "Mahasiswa baru ya?"
Aku mengangguk saja, menahan nafas kemudian tersenyum...
Sabtu, 20 Agustus 2011
Study ke Luar Negeri dan Peran Organisasi Mahasiswa dalam Pembekalan Kadernya
Bersinergi Menuju Amosfer Kampus yang Prestatif
Oleh:
Panca Dias Purnomo*
Saya kaget dan tertegun saat membaca sebuah Koran harian daerah yang memberitakan tentang Universitas Negeri Semarang berhasil menjadi juara 3 Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di Makassar baru-baru ini. PIMNAS sebagai Event tahunan yang diselenggarakan DIKTI menjadi ajang bergengsi universitas-universitas di Indonesia untuk memperebutkan gelar sebagai universitas dengan iklim riset, akademis, dan menulis yang paling baik di Indonesia. Menjadi juara dalam even ini jelas akan meningkatkan prestice universitas, prestice sebagai universitas dengan iklim selayaknya universitas: berpikir, meneliti, menulis, dan mengabdikan ilmu kepada masyarakat. UNNES (tetangga kita) yang notabene adalah perguruan tinggi dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan Universitas Diponegoro, nyata-nyata bisa menyabet gelar bergengsi tersebut mengalahkan IPB, ITB, UNAIR, bahkan UI yang dianggap sebagai universitas terbaik di negeri ini. Bahkan UNDIP pun tidak masuk dalam 10 besar pemenang lomba. Tidak Cuma itu, UNNES sudah beberapa kali berhasil meloloskan mahasiswa sampai tahap final pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional, bahkan sempat ada yang menjadi juara 2 MAWAPRES Nasional. Bagaimana dengan UNDIP?
JIka direnungkan lebih dalam, menurut saya, PIMNAS adalah representasi dari iklim riset dan akademis universitas. Sebagai seorang mahasiswa, mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral dan intelektual untuk bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, kemudian meramunya menjadi solusi inovatif bagi berbagai permasalahan yang dihadapai masyarakat. Saya pernah diberitahu oleh seorang dosen yang kebetulan tidak mengajar di jurusan yang saya ambil tentang makna dari “intellectual responsibility”, artinya setiap mahasiswa dan akademisi berkewajiban menulis dan mensitesiskan tentang mayor ilmu masing-masing sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia. Dapat dikatakan, rendahnya kemampuan mahasiswa dalam menulis ilmiah merupakan rendahnya tanggung jawab intelektual ini. Rendahnya jumlah proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang dikirimkan maupun yang lolos sampai ajang PIMNAS dapat dinilai sebagai rendahnya pengamalan tanggung jawab intelektual ini. Meskipun jumlah proposal PKM dari UNDIP dari tahun ke tahun menunjukan tren kenaikan jumlah, tapi jumlah tersebut masih kalah dibandingkan tetangga sendiri: UNNES dan juga jika dibandingkan dengan total mahasiswa UNDIP yang ada. PKM yang masuk PIMNAS dari UNDIP jumlahnya tidak terlalu berbeda, hal ini menunjukan peningkatan kuantitas tidak disertai kualitas.
Selain itu, berapa banyak mahasiswa UNDIP yang tertarik mendaftarkan diri dalam kompetisi Mahasiswa Berprestasi di tingkat jurusan dan fakultas?Sangat miris dan ironis lagi-lagi mengetahui faktanya. Saat pemilihan Mawapres tahun 2010 di fakultas saya, untuk angkatan 2007 waktu itu, hanya ada 8 orang saja dari sekitar 400 mahasiswa angkatan 2007 di fakultas saya. Rendahnya partisipasi mahasiswa ternyata tidak hanya di fakultas saya, menurut cerita teman-teman mawapres dari fakultas lain, ternyata partisipasinya sama rendahnya. Bahkan, banyak pula mahasiswa yang tidak mengetahui apa itu Mawapres (parah bukan?). Berbeda dengan beberapa cerita teman saya di universitas ternama lain di Indonesia yang mengatakan bahwa pemilihan mahasiswa berprestasi seperti sebuah kompetisi hidup dan mati. Mawapres yang terpilih akan benar-benar mendapatkan penghargaan. Mawapres adalah prestice yang sangat tinggi. Bagaimana mawapres di UNDIP?
Satu kesimpulan saya setelah melihat berbagai fakta dan realita yang terjadi adalah bahwa atmosfer atau iklim tanggung jawab intelektual di UNDIP ini masih sangat rendah.
Saya sempat berpikir bahwa pencapain universitas tetangga dalam kejuaraaan PIMNAS di Makassar pasti akan (mohon maaf) menampar tepat di muka para pejabat UNDIP untuk berbenah dan mengaca diri, dan membuat gebrakan baru untuk setidaknya mengungguli mereka. Ibarat dalam sebuah cerita dari sebuah dongeng, seorang David yang bertubuh kecil mengalahkan telak Golliat yang bertubuh jauh lebih besar. Atau ibarat Jepang yang bersemangat bangkit setelah hancur luluh lantak karena 2 bom atom yang dijatuhkan tanah airnya. Berhasilnya UNNES menjadi juara umum ke-3 PIMNAS 2011, (seharusnya) ibarat jatuhnya bom atom di tanah UNDIP sehingga membuat seluruh warga UNDIP terutama petinggin-petingginya merasa di tinju telak oleh seorang david. Pencapaian tetangga sebelah ini, bukan hal yang harus dianggap lumrah, namun harus dijadikan momentum agar UNDIP berbenah dan mengevaluasi diri.
Saya pun pernah berdiskusi dengan dekan saya mengenai kondisi fakultas terutama kondisi mahasiswanya yang sangat tidak “greget” dalam mengikuti berbagai kegiatan di kampus. Beliau sempat mengatakan bahwa input atau SDM mahasiswa yang masuk ke fakultas mempengaruhi kualitas dan kondisi fakultas, karena (mohon maaf) banyak mahasiswa yang diterima adalah mereka yang tinggal di Jawa, bukan putra terbaik dari berbagai daerah di Indonesia. Berbeda dari perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Apakah input yang berpengaruh paling besar terhadap kualitas institusi?Setelah melihat fakta bahwa UNNES yang notabene adalah universitas dengan input mahasiswanya yang (mohon maaf) gradenya lebih rendah dari UNDIP dan pun sebatas dari daerah Jawa Tengah, mampu menjadi juara umum ke-3 PIMNAS 2011, karena itu sepertinya pendapat bahwa input sangat berpengaruh harus ditolak dan dimentahkan. Kualitas dan kondisi perguruan tinggi nyata-nyata sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi didalamnya. Input gradenya boleh rendah, tapi jika proses pembentukan SDM-nya berjalan dengan bagus, maka akhirnya akan tercipta alumni-alumni yang handal dan berkualitas.
Proses ini tidak terlepas dari pembentukan iklim atau atmosfer intellectual responsibility kepada seluruh warga di kampus. Iklim seperti angin, udara, dan oksigen yang selalu menjadi lingkungan dimana kita berada. Iklim meski tidak dapat dilihat, tapi bisa dirasakan. Iklim intellectual responsibility tidak akan pernah bisa terbentuk hanya dari kontribusi dan semangat mahasiswanya, apalagi jika hanya dari pengurus organisasi mahasiswanya. Meskipun mahasiswa adalah jumlah penghuni terbesar di kampus, namun sekali lagi hal itu tidak akan pernah cukup tanpa dukungan dan bimbingan pemanggu kebijakan di tingkat universitas, fakultas, jurusan dan sampai tingkat terkecil: program studi. Dosen pun mempunyai andil besar dalam pembentukan iklim intellectual responsibility karena merekalah yang secara langsung bersinggungan dengan mahasiswa dan yang menanamkan berbagai macam pemikiran kedalam diri mahasiwa. Tidak hanya sebatas pemikiran (knowledge) melainkan juga attitude atau karakter. Elemen penting lainnya adalah pegawai atau staf di lingkungan kampus dimanapun mereka berada. Pembentukan iklim ini adalah bentuk sinergi dan kerjasama antara pejabat kampus, mahasiswa, dosen, dan karyawan. Sehingga, iklim diskusi, iklim prestasi, iklim kompetisi, dan iklim peningkatan kapasitas mahasiswa demi membawa nama harum universitas dan prestice jurusan dan fakultas dapat tercapai. Sekali lagi karena sinergis dan saling mendukung.
Saya masih ingat beberapa cerita teman saya dari universitas lain yang mengatakan bahwa dibalik suksesnya mahasiswa meraih berbagai prestasi sehingga bisa mengangkat nama universitas adalah karena dorongan, bantuan, dan bimbingan dari dosen-dosennya. Seorang teman saya dari Universitas Brawijaya-Universitas yang setiap tahun masuk menjadi finalis PIMNAS dan MAWAPRES Nasional-mengatakan bahwa dosen di UB memberikan dorongan dan bantuan besar sehingga banyak mahasiswa UB berhasil menganggkat nama baik universitas. Selain itu, masih kata dia, dana untuk segala aktifitas mahasiswa (baik kompesisi, delegasi, pementasan, dll) jumlahnya sangat besar. Coba bandingkan dengan yang ada di UNDIP. Setiap tahun, yang selalu dikeluhkan oleh para pengurus organisasi mahasiwa di UNDIP adalah minimnya dana untuk kegiatan mereka. Bayangkan saja, dana untuk kegiatan BEM KM UNDIP selama satu tahun hanya 10 juta, luar biasa bukan???(sangat miris dan ironis). Banyak yang mengeluhkan minimnya dana kemahasiswaaan untuk delegasi komptesi atau kegiatan lain baik dalam maupun luar negeri. Mahasiwa yang akan berkompetesi di luar negeri mengeluh tidak memperoleh dana yang memadai dari universitas. Padahal, ujungnya jika mahasiswa meraih gelar juara di kompetisi tersebut nama universitas yang akan terangkat. Dana kemahasiswaaan UNNES konon kabarnya beberapa kali lipat dari total dana kemahasiswaan di UNDIP. Dana memang bukan segala-galanya, tapi dengan dana, segala-galanya diperoleh. Selian dana, fasilitas kemahasiswaan juga sangat berpengaruh terhadap semangat prestatif mahasiswa. Bagaimana mahasiswa akan membuat program dan ide prestasi jika tempat untuk mengumpulkan ide saja mereka tidak punya?
Ini bukan keluhan atau bukan rengekan, tapi lihat realita di universitas lain yang mampu menganggkat prestasi dan prestice-nya karena prestasi mahasiswanya.
Saya masih pula ingat seorang teman dari Universitas Indonesia yang mengatakan organsisi di jurusannya yang baru 2 tahun berdiri mampu go internasional karena sangat didorong dan dibantu para dosen. Kira-kira bagaimana sikap dosen dengan organisasi mahasiswa di jurusan di kampus UNDIP ini?mendukungkah, membantukah, atau hanya sekedar dianggap angin lalu semata?dan bagaimana sikap para dosen kepada para aktivis pengurus organisasi mahasiswa?(ahh, saya tidak bisa membayangkannya:ironis dan miris). Dukungan dosen, nyata-nyata sangat membantu pengembangan nama besar fakultas dan universitas karena dosen lah yang mempunyai resouces lebih banyak dibandingkan mahasiswanya (resources: uang, link, knowledge, dan skill). Bantuan dosen dalam membantu mahasiswa menemuka judul karya tulis sangat dibutuhkan, bimbingan dosen terhadap mahasiswa yang akan mengikuti kompetisi sangat diperlukan, informasi mengenai berbagai ajang kompetisi dan kegiatan juga dosenlah yang mempunyai. Dengan semangat dari setiap dosen untuk memberikan sumber daya yang mereka punya kepada mahasiswa, akan tercipta iklim prestatif di lingkup (setidaknya) program studi, kemudian jurusan dan fakultas. Lihat saja, program studi atau jurusan yang banyak menghasilkan mahasiswa berprestasi dalam bidang apapun, pasti muncul karena dukungan, bantuan dan motivasi dari dosen-dosennya.
Pembentukan iklim intellectual responsibility dan atmosfer akademik prestatif tidak terlepas dari senergi antara:
- Dosen,
- Pejabat kampus
- Mahasiswa
- Dan karyawan
Semua komponen ini harus saling mendukung sesuai wewenang masing-masing. Dan yang jelas, semuanya harus diawali oleh para pemangku kebijakan yang mempunyai wewenang membuat peraturan di lingkup kampus. Dosen pun harus sadar bahwa pekerjaan mereka tidak hanya mengajar dikelas dan membimbing skripsi. Mahasiwapun harus berlomba-lomba menunjukan diri menjadi mahasiswa terbaik dan mampu bersaing dengan mahasiswa dari universitas lain. Saya rasa perjuangan mahasiswa UNDIP untuk memajukan universitas baik di intern UNDIP sendiri maupun di berbagai ajang kompetisi di luar UNDIP sudah sangat besar, hanya saja besarnya perjuangan itu jangan hanya dipunyai oleh segelintir mahasiswa saja, melainkan harus dipunyai oleh seluruh mahasiswa UNDIP.
“Musuh” besar kita tidak lagi sebatas jurusan atau fakultas lain di UNDIP ini, melainkan merekalah universitas – universitas ternama lain di Indonesia bahkan dunia, seperti UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, ITS, UNPAD, dan bahkan tetangga kita: UNNES. Akankah kita diam dengan berita-berita prestasi universitas lain? Apakah kita tidak risih dengan berita betapa berprestasi dan membanggakannya pencapaian mahasiswa dari universitas lain?
Mari bersinergi dan saling mendukung untuk mewujudkan iklim prestatif di universitas tercinta kita ini.
Kita bersinergi dan berkontribusi karena Kita Cinta UNDIP
(mohon maaf jika banyak yang salah, ini semata-mata bentuk kontribusi pemikiran saya untuk UNDIP tercinta)
*Mahasiswa Jurusan Perikanan UNDIP 2007
"Semuanya Adalah Proses dan Akumulasi: We Will Get What We Deserve"
Senin, 01 Agustus 2011
Pendidikan: Pintu Gerbang Menuju Kesejahteraan
Panca Dias Purnomo*
Et Ipsa Scientia Potestas Est. Knowledge is power. Pengetahuan adalah kekuatan. Kalimat luar biasa ini dahulu pernah dikatakan oleh seorang filsuf Inggris, Francis Bacon. Kata-kata ini menjadi sumber inspirasi bagi setiap orang pada masa itu untuk belajar dan menggali pengetahuan sedalam-dalamnya. Karena mereka sadar bahwa sumber kemajuan sebuah bangsa dan peradaban adalah pengetahuan. Itu lah rahasia mengapa bangsa Eropa mengamali momentum kebangkitan ilmu pengatahuan atau “renaisans”: masa dimana kebodohan tergantikan dengan kepandaian. Bangsa yang besar dan maju lahir dari masyarakat yang sadar akan pentingnya pengetahuan. Proses pencapaian pengetahuan ini hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan adalah sumber pengetahuan. Pendidikan adalah sumber dari kekuatan untuk bangkit melawan kebodohan dan ketertinggalan. Karena pendidikanlah, para pendiri bangsa Indonesia sadar akan pentingnya perjuangan menuju kemerdekaan dan karena pendidikanlah manusia dapat memutus tali kemiskinan.
Pendidikan adalah investasi menuju bangsa yang besar. Itulah setidaknya yang diyakini oleh Kaisar Meiji, ketika Jepang mengirimkan puluhan ribu pemudanya setelah perang dunia II untuk belajar di perguruan tinggi terbaik di Amerika dan Eropa, kemudian kembali ke Jepang dan membangun negaranya. Jepang, kemudian menjadi raksasa dunia saat ini. Mahasiswa India yang menuntut ilmu di Amerika merupakan populasi mahasiswa internasional terbanyak kedua setelah China. Setelah mendapatkan gelar, mereka kembali ke India dan membangun negara asal mereka. Hasilnya: India saat ini adalah kekuatan ekonomi baru dunia. China, mengirimkan beribu-ribu rakyaknya untuk menuntut ilmu ke Amerika dan Eropa. Mahasiswa asing yang paling banyak ditemukan di perguruan tinggi Amerika Serikat adalah mahasiswa China. Saat ini, China adalah kekuatan ekonomi yang mengancam hegemoni ekonomi Amerika Serikat. Apakah geliat negara-negara ini muncul begitu saja? Tentu tidak. Negara besar adalah mereka yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi masyarakatnya. Negara besar adalah mereka yang menghargai pendidikan dan orang-orang berpendidikan. Pendidikan adalah sumber kekuatan dan kebangkitan. Lalu bagaimana pendidikan di negara kita (Indonesia)?
Pendidikan tinggi di Indonesia mahal?
Sekarang ini, isu mengenai mahalnya pendidikan tinggi di Indonesia sedang marak dibahas di berbagai media dan komunitas. Pendidikan tinggi yang notabene mampu mencetak generasi-generasi penerus bangsa dianggap hanya bisa diakses dan dinikmati oleh para mereka yang mampu. Benarkah demikian?lihatlah fakta biaya masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SNPTN di Universitas Diponegoro yang mencapai lebih dari 20 juta. Biaya masuk jalur Ujian Mandiri antara 11 juta sampai 100 juta tergantung jurusan. Universitas Gadjah Mada mematok sumbangan bagi mahasiswa barunya antara 5 juta sampai dengan 100 juta tergantung jurusan yang dipilih. Nilai tersebut belum termasuk SPP yang harus dibayarkan mahasiswa setiap semesternya. Besarnya uang masuk di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia dinilai beberapa kalangan sebagai hal yang wajar karena perguruan tinggi pasti membutuhkan dana operasional yang lebih besar. Namun demikian, ada juga beberapa kalangan yang menilai uang masuk perguruan tinggi negeri terlalu mahal. Melihat dari beberapa contoh besarnya biaya masuk perguruan tinggi negeri ini dibandingkan dengan kondisi mayoritas penduduk Indonesia, akankah kita masih berpandangan bahwa biaya masuk perguruan tinggi itu wajar?Mari kita lihat.
Benarkan pendidikan tinggi di negeri ini hanya dinikmati segelintir orang saja?
Sekarang, marilah kita tilik jumlah penduduk Indonesia sampai tahun 2010 yang mencapai 237.641.326 (BPS). Dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta, 11,01 juta jiwa (BPS) adalah meraka yang berhasil kuliah sampai perguruan tinggi. Jumlah itu hanya sekitar 4,65% dari total populasi penduduk Indonesia. Cobalah kita lihat jumlah penduduk miskin di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan adalah sebesar Rp. 233.740,- per kapita per bulan. Jumlah penduduk miskin Indonesia (garis penghasilannya dibawah garis kemiskinan) sebanyak 30,02 juta jiwa atau 12,49% dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk miskin Indonesia, 3 kali lipatnya penduduk Indonesia yang berpendidikan sampai ke perguruan tinggi. Masih menurut data dari BPS, mayoritas penduduk Indonesia masih sangat tergantung dari sektor pertanian yang dianggap sebagai sektor golongan rakyat bawah. Sekitar 44% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau 46,7 juta jiwa rakyat Indonesia adalah petani. Lebih dari separuh jumlah petani Indonesia adalah petani gurem dan buruh tani yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar. Jumlah mereka adalah 38 juta jiwa. Jumlah petani di Indonesia adalah 4 kali lipat lebih jumlah mahasiswa Indonesia. Masih menurut data BPS, pendapatan per kapita penduduk Indonesia tahun 2010 adalah sebesar Rp 27 juta selama satu tahun. Jikalau pun benar data tersebut, maka, dengan masih tingginya angka kemiskinan, mayoritas pekerja Indonesia adalah petani buruh, dan pendapatan perkapita Indonesia sebesar 27 juta/tahun dibandingkan dengan biaya masuk perguruan tinggi negeri yang mencapai 20 an juta lebih (belum termasuk biaya hidup dan SPP tiap semesternya), apakah biaya pedidikan tinggi di Indonesia masih dianggap bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia?Masihkah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mendambakan kesejahteraan dengan janji masa depan lebih baik dengan pendidikan?Sulit untuk mengatakan iya. Jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 4,65%, sangat sedikit sekali bukan?Apakah fakta ini belum meyakinkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia takut melanjutkan ke perguruan tinggi karena MAHAL?
Padahal, pendidikan adalah gerbang menuju kesejahteraan yang lebih baik, pendidikan adalah gerbang cahaya dari kegelapan, dan pendidikan adalah pintu menuju bangsa yang maju dan beradab. Sampai kapan mereka harus menunggu sejahtera jika jalan menuju kesejahteraan saja sangat sulit mereka dapatkan. Apakah mayoritas penduduk Indonesia yang mendambakan hidup lebih baik ini harus menjual sawah hanya untuk mendapat gelar sarjana? Jika, akses pendidikan tinggi masih saja sulit didapat oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali yang mayoritas pendapatannya rendah ini, lalu, sampai kapan negara ini akan sejahtera?
Penyediaan pendidikan adalah amanah konstitusi
Salah satu tujuan dan amanah dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tertuang di teks pembukaan UUD 1945 dan di jabarkan pada pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2002. Karenanya sudah seharusnya pemerintah berkewajiban menyediakan sarana agar seluruh komponen bangsa dan negara menjadi cerdas. Bagaimana cara mencerdaskan kehidupan bangsa?jawabannya adalah dengan menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan. Hal ini seperti tertuang di dalam ayat 1 pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan di ayat 3 “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang“. Pendidikan adalah cara untuk memperoleh kecerdasan dan karenanya pemerintah berkewajiban menjamin seluruh rakyatnya mengenyam pendidikan dan juga harus menjamin terselenggaranya pendidikan yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa pandang status apapun. Saat ini tercatat sebanyak 212 perguruan tinggi negeri di Indonesia (termasuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademik, dan politeknik) dan terdapat 2.435 perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia. Perbandingan yang sangat jauh bukan? Perguruan tinggi negeri hanya 1/8 dari total perguruan tinggi swasta di negeri ini. Melihat kondisi pendidikan di negara kita berdasarkan fakta dan data diatas, apakah kita bisa mengatakan pemerintah sudah melaksanakan amanah konstitusi dengan baik? Biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi, seharusnya disesuaikan dengan kondisi pendapatan dan kesejahteraan rakyatnya, bukan berpedoman pada yang mampu silakan melanjutkan ke perguruan tinggi dan yang tidak mampu silakan menyingkir. Pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah amanah konstitusi, jika pemerintah tidak menjalankannya berarti ia telah melanggar konstitusi dan melanggar sumpah jabatan.
Apa yang bisa (mahasiswa) lakukan?
BANK KESMA (Kesejahteraan Mahasiswa) dan Advokasi mahasiswa baru: ide kecil untuk membantu mereka yang kurang mampu
Kita (mahasiswa) tidak boleh hanya menjadi penonton polemik mahalnya biaya masuk perguruan tinggi ini. Sebagai bentuk kesadaran akan pentingnya pendidikan dan sebagai bentuk tanggung jawab moral kita sebagai bagian kecil dari penduduk Indonesia yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi dibandingkan yang lain, kita harus mempunyai kesadaran untuk menolong (sebisa kita) mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya masuk perguruan tinggi. Usaha yang bisa dilakukan tidak hanya sebatas pada audiensi dan dialog dengan pihak pengambil kebijakan (rektorat), melainkan kita juga harus bisa menggagas ide dan tindakan untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan finansial dengan cara kita sendiri (baca: mahasiswa). Hal ini bukan juga tanggung jawab mahasiswa yang berkecimpung di organisasi mahasiswa seperti BEM atau pun Senat Mahasiswa, melainkan ini adalah tugas mulia seluruh mahasiswa. Karenanya, Kementrian Kesejahteraan Mahasiswa BEM KM UNDIP menggagas program BANK KESMA yang sudah muncul beberapa tahun yang lalu. BANK KESMA diharapkan mampu menampung dana mandiri yang dikelola oleh bidang Kesejahteraan Mahasiswa (KESMA) BEM dan kemudian dapat disalurkan kepada mahasiwa yang mengalami kesulitan finansial baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Silakan berpartisipasi dengan menyalurkan kepeduliaan Anda untuk kemajuan UNDIP dan Indonesia.
Biaya pendidikan tinggi yang dianggap pemerintah masih wajar dan sebanding dengan biaya operasional perguruan tinggi apakah masih bisa dianggap “maklum” jika menilik data dan fakta kondisi masyarakat Indonesia saat ini?Pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional harus dengan bijaksana menyediakan pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa pandang status apapun. Ini adalah amanah konstitusi. Selain itu, kita (mahasiswa) tidak hanya sebatas memahami kondisi ini sebagai kondisi “klise” atau “lumrah” semata, melainkan kondisi ini pun juga adalah sebagai tanggung jawab moral kita sebagai manusia yang terlebih dulu berhasil mengenyam pendidikan di perguruan tinggi Indonesia.
Kita berbagi karena Kita CINTA UNDIP.
*Komisi Ahli BEM KM UNDIP 2011
Read Also
-
Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...7 bulan yang lalu