Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Senin, 30 Mei 2011

Cerpen: Mata itu adalah Kekuatanku.

Entah sudah berapa kali aku pulang ke kampung halamanku, sebuah desa kecil yang cukup jauh dari pusat pemerintahan. Tak terhitung sejak aku memutuskan untuk merantau menuntut ilmu di ibu kota provinsi. Jalan yang aku lalui masih tetap sama, belum ada perubahan sejak aku pertama kali melewati jalan ini. Aku lebih suka duduk di dekat jendela kaca, menolehkan kepala sembari memandang berbagai realita kehidupan di sepanjang jalan. Ya, aku suka melihat deretan pohon berjajar rapi, hijau, dan menyejukan. Bukit hijau nan jauh disana bak lukisan asli Sang Pencipta yang menghiasi bumi ini. Sesekali, deretan warung dari kayu berjajar di pinggir jalan yang aku lalui. Masih sama seperti dulu, hijau, coklat, dan putih.....tergambar di pikiranku. Tergambar akan kisah rantauku di ujung kota itu. Melihat dibalik kaca bus, membawaku seolah-olah sedang berada didalam bioskop, memandang layar lebar dengan gambarnya yang silih berganti. Potongan cerita kehidupan yang berkelebat muncul dari dalam otakku.

Bus berhenti di tempat aku seperti biasanya berhenti. Aku bergegas turun kemudian berjalan menuju minimarket di ujung belokan jalan besar ini. Disekelilingku pun masih sama, toko-toko, bangunan, pedagang makanan di pinggir jalan, becak-becak di pinggir jalan, angkot, semuanya tidak ada perubahan. Matahari sudah diujung barat. "Pak, aku sudah sampek, di depan Alfamart, MTS" aku menelepon Bapakku, meminta beliau untuk menjemputku di tempat biasa. Beliau masih dirumah, bersiap untuk berangkat saat menerima telfon dariku. Aku memang lebih sering meminta orang tuaku untuk menjemputku dibandingkan naik angkot ke desa tempat tinggalku. Karena seringnya, aku sampai di kabupatenku sore atau malam hari, angkutan umum menuju desaku biasanya sudah agak sulit ditemui saat hari menjelang maghrib.

Dengan dibonceng motor Bapakku, aku sekali lagi melihat potongan-potongan memori masa lalu silih berganti berputar seperti film dibisokop. Masih sama, sejak aku kecil. Tidak ada yang berubah. Begitulah kota kecilku ini, masih sama, dan mungkin akan selalu begitu. "Ono perbaikan jalan, jembatan deket desa lagi diperbaiki, macet, dowo banget. Jadi agak lama". Suara Bapakku dari depan membuka perbincangan. Cuma “ooh” didalam hatiku. "Lho kok jalanne ditutup to ki Pak?ada apa?"aku bertanya seketika Bapakku tidak melewati jalan seperti biasanya. "Ono lomba balapan motor tadi siang" beliau menjawab. Hanya "ooh" lagi didalam hatiku, karena tidak lagi heran mendengar jawaban Bapakku, sudah sangat sering jalan di sekitar alun-alun kota dibuat lomba balap motor. Seketika terbersit dikepalaku masuk kemana uang penyelenggaraan lomba itu ya. Kok, masih sama saja kondisi Kabupatennku ini ya, malah banyak jalan yang sudah mulai terlihat tidak baik lagi. Jalan menuju desa ku pun masih tetap sama. Ternyata benar kata Bapakku, deretan kendaraan mengantri panjang menunggu giliran lewat diatas jembatan yang masih diperbaiki. Ini adalah pemandangan yang berbeda. Aku masih sangat hafal, jalan membelok kerumah tempat tinggalku. Jalan masuk yang cukup panjang, lagi-lagi pemandangannya masih sama. Kami berbelok masuk kedalam jalan desa. Deretan rumah yang tidak terlalu rapat, jembatan, sawah, gedung bekas sekolah SD ku dulu (SD tempat aku bersekolah dulu sudah tidak ada lagi, sudah digabung dengan SD dipinggir jalan besar, hanya tersisa gedung tua tak terurus), jalan penuh batu yang belum diaspal, rimbunan pohon, jalan tanah, dan akhirnya rumah bercat putih yang menghadap ke selatan. Masih sama, ini lah rumah keluargaku, rumah sejuta kenangan.

Aku habiskan masa kecilku di rumah ini, halaman luas didepan dan samping rumahku menjadi saksi masa kecil ku yang nakal dulu. Bermain tanah, berlari-larian dibawah hujan, bermain bola dan perang-perangan dengan teman semasa kecil, dan juga tempat aku sering dimarahi oleh Bapakku dan Mamakku. Aku memang termasuk anak yang nakal, sering membuat jengkel orangtua dan kakak-kakakku. Aku juga anak yang tidak begitu rajin, malas, dan jarang membantu pekerjaan orang tua. Orang tuaku sering sekali marah-marah untuk yang satu ini, aku enggan untuk diajak kesawah, enggan menyapu halaman, enggan mencuci piring, dan enggan untuk sekedar mencuci bajuku sendiri, apalagi membantu memasak di dapur. Jangan harap dulu aku mau melakukannya. Aku hanya suka bermain dan menonton televisi. Hanya sesekali, aku membantu pekerjaan orang tua dan kakakku, itu pun jika sedang mau saja. Karena itulah dulu aku sering sekali dimarahi dengan membandingkan aku dengan teman semasa kecilku dulu yang lebih rajin. "Tu, liat si temenmu itu lho, tiap hari ke sawah, mbantu orang tua" aku ingat betul kalimat ini. Membantu pekerjaan orang tua di sawah sepertinya sudah menjadi parameter di lingkungan desaku untuk menilai apakah anak rajin atau tidak. Mayoritas penduduk desaku memang petani sawah, hidup sederhana, layaknya petani pada umumnya. Meskipun dari sisi rajin tidaknya membantu orang tua aku kalah dibandingkan teman-temanku, aku masih punya satu kelebihan dibandingkan mereka. Aku selalu rangking 1 di SD, meski hanya 9 orang muridnya, hehe. Lulus dengan NEM terbaik di SD ku dan berhasil diterima di SMP terfavorit di kabupatenku, ya aku satu-satunya anak dari dusunku yang sekolah di kota. Temanku yang lain melanjutkan di SMP negeri yang ada didesa kami.

Wajah yang amat kurindukan, wajah yang penuh dengan kedamaian, meski belakangan beberapa tahun ini aku lihat wajahnya tidak sesehat dulu, dia lah Ibuku, Mamakku, wanita yang telah melahirkan dan merawatku denga penuh kasih dan sayang. Ia menyambutku di depan pintu, kukecup tangannya dan kedua pipinya. Senyum mengembang dari bibirnya, kerut wajah itu semakin jelas, tangannya makin kurus, uban dirambutnya semakin banyak. Mamakku yang hanya bersekolah sampai kelas 2 SD itu lalu masuk kedalam rumah menemaniku, sembari menawarkan segelas air minum. "Berangkat jam berapa tadi dari Semarang?" pertanyaan standar yang sering Mamakku tanyakan setiap kali aku pulang. Sembari meletakan tas aku jawab "jam 2 tadi siang". Aku sangat salut dan bangga kepada Mamakku, meskipun bersekolah hanya sampai kelas 2 SD karena tidak diperbolehkan oleh Ibunya, beliau mempunyai semangat kerja yang sangat luar biasa. Beliau tipe wanita yang tidak bisa diam, apapun pasti akan dikerjakannya. Aku sering bercerita tentang kuliah dan kegiatanku, dan sesering itu pula, Mamakku sering bertanya banyak hal yang justru menggambarkan bahwa beliau tidak mengerti dengan penjelasanku. Namun demikian, motivasi dan dukungan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah sungguh sangat luar biasa. Beliau selalu bilang “Biar mamak aja yang gak sekolah, kalian semua harus sekolah kalau bisa sampai setinggi-tingginya”.

Rumahku masih sama seperti saat pertama kali aku bisa mengingat isinya. Sama seperti saat aku kecil dulu, hanya beberapa benda yang posisinya berbeda. Tidak ada benda baru didalamnya, kecuali mungkin hanya kulkas, televisi, dan DVD player itu. Gedhek (papan dari bambu) yang membatasi kamar satu dengan yang lainnya masih terpasang sama seperti saat aku kecil dulu. Gedheknya masih kelihatan kokoh. Lantai dari semen dan ubin yang masih sama seperti dulu. Posisi tempat duduk diruang depan sedikit berubah. Kursi bambu yang dulunya masih bagus dan kokoh mulai terlihat keropos dan agak lapuk. Satu-satunya lemari besar diruang depan terlihat sangat berdebu dan banyak bagian dalamnya yang terlepas. Lemari itu tidak lagi seindah dan sebersih dulu. Perasaanku, ruang depan ini jadi lebih berdebu. Ahh, mungkin sudah tidak banyak aktifitas diruang depan ini sekarang dibandingkan saat aku kecil dulu. Aku bermain apa saja diruangan ini, sekarang hanya kedua orang tua dan adikku yang menempati rumah ini. Mungkin mereka tidak lagi sering berada di ruang depan. Kami memang lebih banyak mengobrol diruang makan sekaligus melihat televisi. Rumahku tipikal rumah didesa, sederhana dan apa adanya. Aku habiskan waktu semalam ini bersama kedua orangtuaku, setidaknya sampai besok siang hingga aku siap kembali ke ibu kota provinsi. Aku semakin merasa, harapan besar mereka ada dipundaku. Kasih sayang mereka, perhatian mereka terlukis jelas diantara kedua mata mereka. Orang tuaku, merekalah alasan ku untuk terus maju. Aku ingin terus membahagiakan mereka, beriku kesempatan ya ALLAH.

"Pak, Mak, aku mau balik ke Semararng siang ini" sembari mulai mengemasi barang bawaanku. "Oh, yo, wes mangan durung?" Mamakku bertanya hal ini setiap kali aku akan pergi. Mamakku sangat perhatian sekali saat aku dirumah, dibandingkan sebelum aku kuliah di ibu kota. "Sampun" sembari mataku melihat mamakku masuk kedalam kamar. Beliau pasti akan mengambil uang saku, batinku. Aku agak sungkan memang setiap kali meminta uang langsung kepada orang tuaku. Entah kenapa, aku terus merasa tidak enak dan merasa terus saja merepotkan mereka. Sejujurnya, ingin sekali aku berhenti dari meminta uang kepada mereka. Meskipun, mereka pasti memberikan uang yang aku minta, tapi tetap saja aku sungkan. Didalam hatiku, aku masih menganggap aku belum berguna bagi mereka. Aku belum bisa membantu meringankan kerja mereka. Aku menerima uang dari tangan Mamakku, sambil didalam hati terenyuh betapa sudah banyak uang yang mereka habiskan untuk membiayai sekolahku. Aku masih ingat Mamakku sering mengatakan "Ya bersyukur, gak banyak yang bisa seperti kamu, makane urip ki sing ngati-ati , Bapak karo Mamak cuma bisa ngasih ilmu". Aku berjanji, aku akan membuat mereka selalu bahagia dan bangga kepadaku.

Motor Bapakku satu-satunya dirumah dibawa adikku pergi kuliah. Mau gak mau aku harus berjalan kaki satu kilometer sampai jalan ujung desa untuk naik angkutan umum menuju kota kabupaten. Aku menyalami kedua tangan Bapak dan Mamakku, mohon doa restu agar semua urusanku diberikan kemudahan. Melihat ada sepeda onthel Bapakku yang sering dipakek ke sawah terparkir diluar rumah, aku sontak berucap "makek iki kayake lebih cepet Pak", sambil menunjuk sepeda itu dan mengarahkan pandanganku ke arah Bapakku. " Yo, makek sepeda wae biar cepet dan gak jalan dewean" begitu kata Bapakku. Mamakku sambil tersenyum "Iyo, nganggo pit (sepeda) wae, kuat lah pit kuwi dipakek". Aku lipat celana jeansku sampai ke lutut. Bapakku sudah siap aku bonceng dibelakang. Sambil menggendong tas punggung, aku mulai mengayuh sepeda onthel menuju jalan setapak berlapis semen. Sambil kadang geli dan tertawa aku kayuh semakin cepat. Perasaanku campur aduk, senang, bahagia, dan capek sekaligus. Aku masih ingat dulu waktu kecil, Bapakku sering mengajak aku berkunjung ke rumah saudara menggunakan sepeda onthel seperti ini. Aku pasti akan diletakan di ranjang anak-anak diantara kemudi sepeda. Kenangan masa kecil bersama orang tua yang sangat indah. "Dulu kan Bapak sering banget bonceng aku pakek keranjang anak-anak didepan to pak?", aku bertanya kepada Bapakku yang masih duduk dibelakang. "Iya, dulu kemana-mana naik sepeda....sampai pernah jatuh waktu dari tempat saudara. Pas, jalan belok, kemudinya gak bisa belok karena ada ranjang didepan, ya akhirnya tibo gedhublakan" Kata Bapakku sambil ketawa membuatkuku pun tertawa sambil menahan nafas ngos-ngosan. “Dulu setiap hari kemana-mana naik sepeda, yoo alon-alon, suwi-suwi yo bisa beli motor” Bapakku melanjutkan. Seketika itu, aku kembali teringat kisah perjuangan kedua orangtuaku, bekerja keras setiap hari membanting tulang di sawah. Tapi, bagian yang terjatuh waktu kecil dulu aku tidak ingat sama sekali. Didalam hati, hah, hah, hah, nafasku memburu, terasa berat. Apalagi harus melewati jalan berbatu dan dua tanjakan. Disisi lain hatiku, aku merasa sangat senang bisa membonceng Bapakku seperti ini. Dulu saat aku kecil, aku dibonceng Bapakku dengan sepedanya, sekarang giliran aku memboncengkan beliau. Rimbunan bambu dan sawah menyapa perjalanan kami, hingga akhirnya sampailah di jalan besar tempat angkutan umum akan membawaku sampai ke kota. Semasa kecil dulu, Bapakku sering sekali memarahiku, namun sekarang ini aku semakin sadar bahwa sesungguhnya beliau sangat menyayangiku. Inside my heart, my whisper said "i love you mam and dad, I promise to always make you all proud”.

By: Panca DP


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu