Panca Dias Purnomo *)
Assalamualaikumwarohmatullahiwabaraokatuh,
Senang rasanya saya diberikan kesempatan menjadi orang pertama yang menuliskan sedikit ide pemikiran di buletin tarbiyah ikhwah kelautan dan perikanan ini. Berawal dari sms sang masul yang memberi wacana tentang pengisian buletin tarbiyah dengan tema pemilihan raya karena momen inilah yang sedang hangat dibahas dan dipersiapkan di lingkungan Universitas Diponegoro, tidak terkecuali Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Menurut informasi terbaru, PEMIRA akan diselenggarakan tanggal 14 Desember 2010. Sehingga, saya akhirnya memberanikan diri menulis artikel ini agar dapat memberikan sedikit pencerahan bagi kita semua.
Mahasiswa Harus Bergerak
Jika berbicara mengenai pergerakan mahasiswa dan peran serta kontribusinya terhadap dinamika pembangunan bangsa dan negara, maka kita harus melihat jejak panjang sejarah peran mahasiswa sejak jaman pra kemerdekaan. Budi utomo, yang diakui sebagai organisasi pemuda mahasiwa pertama, berkembang dibawah kepemimpinan mahasiswa pada tahun 1908. Organisasi Budi Utomo kemudian dianggap sebagai organisasi pertama yang membawa paham persatuan dan semangat anti kolonialisme. Peran mahasiswa pun sangat kental terasa pada lahirnya sumpah pemuda tahun 1928. Begitu juga, pada tahun 1945, 1966, 1972, berturut-turut proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, isu ideologi komunisme, dan MALARI (malapetaka lima belas januari), serta yang terbaru adalah tahun 1998 saat kekuatan mahasiswa mampu meruntuhkan rezim orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sehingga lahirlah era baru di negara Indonesia, yaitu ‘reformasi’. Untaian sejarah tadi setidaknya memberikan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai posisi dan tanggung jawab yang lebih dibandingkan dengan elemen masyarakat lainnya. Hal tersebut membutuhkan kesadaran. Kesadaran akan peran strategis mahasiswa didalam masyarakat, kesadaran bahwa mahasiswa tidak hanya berkutat pada kuliah, laporan, dan tugas-tugas akademis, namun juga harus peka dan peduli terhadap kondisi sosial masyarakat yang ternyata jauh lebih rumit penyelesainnya dibandingkan teori di bangku kuliah.
Berkat sepak terjangnyalah, kemudian gelar prestisius diamanatkan kepada mahasiswa, antara lain agent of change, iron stock, kaum intelektual, social controler, dan gelar lainnya yang menuntut tanggung jawab dalam arti luas. Kampus pun pada akhirnya menjadi lahan pembelajaran sosial politik mahasiswa apapun disiplin ilmunya, karena pemahaman berkorelasi positif terhadap tindakan, sehingga pemahaman mengenai ilmu dan realita politik, sosial, kenegaraan, dan pemerintahan mutlak dimiliki oleh mahasiswa. Ilmu dan realita itulah yang dapat mahasiwa pelajari dari keikutsertaan secara aktif didalam bidang poltik kampus, organisasi mahasiswa, baik organisasi dan politik intra maupun ekstra kampus. Menjadi mahasiswa berarti harus mau dan siap menanggung konsekuensi dari tanggung jawab sebagai kaum pembaharu. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, mahasiswa harus bergerak, bergerak atau tergantikan, bergerak atau tidak berarti.
Pemilihan Raya:Pesta Demokrasi Kampus
Pemira (pemilihan raya) adalah ajang pemilihan calon ketua Himpunan Jurusan, ketua/presiden BEM dan anggota senat mahasiswa baik ditingkat fakultas maupun universitas yang berasal dari berbagai partai mahasiswa. PEMIRA merupakan pesta demokrasi terbesar tahunan yang akan menentukan pemimpin lembaga tertinggi kampus dan mahasiswa. HMJ, BEM, dan senat sebagai lembaga tertinggi kampus, sebagai pusat koordinasi bagi organisasi-organisasi dibawahnya, menjadi lahan perebutan kepentingan dan pengaruh yang cukup besar bagi berbagai basis ideologi gerakan mahasiswa. Lembaga tersebut juga merupakan representasi dari suara mahasiswa ditingkat bawah yang telah memberikan suara/dukungan kepada pihak yang mencalonkan diri sebagai pemimpin lembaga.
Fungsi dan kedudukan strategis HM, BEM, dan senat inilah yang sering sekali mengakibatkan benturan berbagai kepentingan dan pengaruh ideologi gerakan mahasiswa, yang mana ideologi gerakan tersebut adalah refleksi dari organisasi ekstra kampus yang notabene kader-kadernya berasal dari lingkungan internal kampus sendiri, seperti KAMMI, HMI, GMNI, PMII, dan lain sebagainya. Tarbiyah berbasis KAMMI sebagai penopang ideologi dan gerakannya, namun perlu diingat juga bahwa harus ada batas yang jelas antara lembaga ekstra dan intra kampus. Penulis sepakat bahwa, basis pergerakan tarbiyah atau BEM sekalipun adalah KAMMI, namun perlu diingat bahwa BEM tidak sama dengan KAMMI. Harus dibedakan antara keduanya, karena menurut penulis kecenderungan ini masih terasa kental di kampus FPIK, bahkan UNDIP, sehingga sering memunculkan pertanyaan mengenai independensi BEM sebagai gerakan mahasiswa intra kampus. Tidak dapat dihindari lagi, benturan ideologi pergerakan yang berbeda sering terjadi didalam kehidupan politik intra kampus.
PEMIRA adalah bagian kecil dari sistem demokrasi yang dibangun didalam intern kampus yang mirip dengan sistem demokrasi negara Indonesia saat ini. Jika diibaratkan BEM adalah pusat pemerintahan, senat adalah lembaga legislatif yang mengontrol lembaga eksekutif, dan HM adalah pemerintahan ditingkat daerah. Dan Partai mahasiswa, adalah kendaraan politik untuk mencapai pengaruh dan kepentingan sebagai pendukung kebijakan dan penguat gerakan pemerintah. Sistem seperti ini merupakan lahan pembelajaran kehidupan berdemokrasi yang sesungguhnya kelak, dan sejatinya mahasiswa yang terjun secara langsung dalam perpoltikan praktis dikampus, sejatinya sedang belajar mengasah kedewasaan dan kearifan dalam dunia demokrasi nyata Indonesia. Tidak ada tuntutan sedikitpun bahwa mahasiswa yang aktif dalam dunia politik kampus harus terjun didunia politik praktis kelak, karena semuanya adalah pilihan. Yang pasti, politik kampus dan sistemnya mengasah mahasiswa untuk menjadi peka, peduli, dan paham tentang realitas sosial kemasyarakatan dan pemerintahan sebagai bentuk amalan kodrat mahasiswa.
Menghilangkan Eksklusifitas Gerakan, Membumikan Gerakan Dakwah Kampus
Eksklusifitas (tertutup, hanya untuk kepentingan jamaah sendiri) barangkali sangat bersifat subyektif, artinya mungkin penilaian ini berasal dari pihak, jamaah, atau golongan yang berseberangan dengan identitas jamaah sendiri. Sedangkan dipihak jamaah sendiri sudah merasa merangkul semua pihak untuk ikut serta dalam gerakan perbaikan dan tanpa melihat sebelah mata pihak lainnya.
Munculnya stigma ekslusif muncul (berdasarkan pengamatan penulis) akibat wacana ketidakpuasan mahasiswa kepada sistem pemerintahan yang dipegang oleh faham tertentu (tarbiyah juga termasuk). Ketidakpuasan tersebut muncul disebabkan karena jeleknya sistem dan kinerja dari sumber daya manusia yang memegang sistem pemerintahan mahasiswa. Barangkali inilah yang menjadi koreksi bagi kita semua, bahwa kepemimpinan (ikhwah) tidak hanya sebatas untuk ikhwan dan akhwat saja, namun juga umat, seluruh komponen mahasiswa didalam sistem ini. Jika, wacana ketidakpuasaan itu selalu muncul, maka jangan heran ketidakpercayaan publik terhadap jamaah (tarbiyah) akan tergerus, dan akhirnya hilang, karena ketidak profesionalan kader dalam mengelola sistem ini. Oleh karena itu, sebagai kader tarbiyah, yang ditunjuk ditempatkan oleh jamaah dalam mengelola organisasi intra, entah kelompok studi, himpunan jurusan, BEM, atau pun senat, harus menjunjung tinggi profesionalisme tanpa melupakan akar gerakan dan ideologi sehingga kepemimpinan jamaah ini dalam sistem politik intra kampus dapat membumi, mengakar, menghujam masuk dalam setiap relung hati mahasiswa yang lainnya.
Menurut penulis, tarbiyah dapat dibumikan dan disebarkan melalui organisasi internal kampus (HMJ, BEM) melalui agen-agen yang berpengaruh dan berkarakter kuat, namun tetap menunjung tinggi independensi gerakan serta citra positif organisasi.
Selain itu, yang perlu dipahami oleh semua kader tarbiyah adalah bahwa amanah kontribusi dalam organisasi intra kampus adalah bagian dari bentuk amalan kita sebagai khalifah umat di muka bumi. Bukan, untuk mengejar kepentingan pribadi, atau bahkan popularitas. Amanah adalah dakwah, mensyiarkan Islam kesegala penjuru kampus, membentuk peradaban manusia yang madani. Kita semua adalah da’i dimanapun kita berada, oleh karena itu kita harus mampu menanamkan kebaikan dimanapun dan dengan siapapun kita berada.
Kesimpulan
PEMIRA adalah ajang penuh perang kepentingan dan pengaruh. Kita (sebagai jammah tarbiyah) harus memahami ini sebagai ladang dakwah dan ladang menanam kebaikan serta memetik amal sebagai bekal didunia dan akhirat. Kepemimpinan tarbiyah didalam sistem politik intra kampus harus diemban dengan menjunjung tinggi profesionalisme dan indenpendensi gerakan tanpa melupakan ideologi jamaah, agar dakwah ini dapat membumi masuk kedalam relung hati setiap mahasiswa, sehingga tujuan membentuk kampus yang madani dapat tercapai. Mari, sahabat sekalian, rapatkan barisan memenangkan PEMIRA, sebagai bagian dari langkah kecil meraih kejayaan Islam di muka bumi.
Wallohualambisowab,
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarokatuh
boleh tukar link?
BalasHapusfajaralayyubi.wordpress.com
Boleh mas fajar, silakan
BalasHapus