Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Jumat, 02 Maret 2012

Masihkah Mau Memilih di Tahun 2014?

Sembari istirahat siang kemarin, saya menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan instansi tempat saya sedang belajar. Alhamdulilah saya bisa menghela nafas sejenak didalam perpustakaan sembari membaca. Sejatinya, berkunjung ke perpustakaan menjadi agenda rutin saya setiap hari, setidaknya dulu saat pekerjaan analisa saya belum begitu padat. Perlahan-lahan, saya harus mengurangi kunjungan saya ke perpustakaan karena kesibukan saya di laboratorium dalam sebulan ini. Tujuan utama saya datang ke perpustakaan, tentu saja, untuk membaca; membaca surat kabar favorit saya. Kapan lagi saya dapat membaca surat kabar setiap hari jika bukan di tempat ini?

Selama kos di Semarang sebenarnya sudah beberapa kali saya berkeinginan untuk berlangganan koran, namun sepertinya uang jatah makan bulanan saya lebih berharga dibandingkan dengan memberikannya kepada tukang loper koran. Terkadang saya heran, saya merasa mudah saja menggadaikan uang bulanan saya demi sebuah buku. Tapi, kok masih sulit rasanya melakukan hal yang sama untuk sebuah koran harian. Padahal, saya tahu persis, jika rela melakukannya, bermilyar informasi berharga setiap hari dapat saya peroleh dari membaca koran. Suatu saat saya pasti akan menyisihkan uang untuk berlangganan koran. Pasti.

Satu koran favorit saya selama masa kunjungan saya ke perpustakaan ini adalah The Jakarta Post. Koran berbahasa Inggris terbitan Ibukota itu tak pernah saya lewatkan saat saya berada didalam perpustakaan. Segmen yang paling saya suka adalah pada segmen 'Opini', dimana tulisan berupa analisa dan pendapat banyak ahli nasional, bahkan internasional dapat saya serap.  

Saya tertarik untuk turut memberikan unek-unek saya setelah membaca opini dari Burhanudin Muhtadi yang berjudul "More absentees in 2014 legislative, presidential elections?" [1], yang terbit hari Selasa, 28/02/2012.  Beliau adalah peneliti di Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan juga dosen di Universitas Islam Negeri, Jakarta. Memang, belakangan ini, beberapa media elektronik nasional sibuk memberitakan hasil survey LSI tersebut yang terkait dengan pemilu 2014. (Dan) Seperti biasa, hasil rilis LSI itu menjadi salah satu topik hangat untuk didiskusikan dan diperdebatkan, setidaknya dalam minggu ini. Ada yang pro dan kontra. Ada yang percaya, ada pula yang menganggap survey itu cuma pesanan elit tertentu. Ah, sudah biasa hal seperti itu di negara ini. 

Data survey LSI menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap partai politik cenderung menurun. Partai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat, mengalami penurunan perolehan suara yang cukup drastis. Hal ini kuat diduga dikarenakan skandal korupsi yang menjerat beberapa kader elit partai tersebut. Namun demikian, penurunan dukungan (sekaligus kepercayaan) kepada partai berlambang mercy itu ternyata tidak berimbas pada kenaikan dukungan terhadap partai lain. Masyarakat yang dulunya memilih Demokrat tidak serta merta memberikan suara kepada partai lain. Data LSI menunjukan partai lainnya (selain Demokrat) ternyata mengalami stagnasi suara, bahkan ada yang menurun. "Support levels for other parties tended to stagnate"[1]. Fenomena ini menunjukan bahwa pemilih mengambang, atau orang yang belum menentukan pilihan, jumlahnya masih dominan. "The number of undecided voters in the LSI’s survey increased from 22 percent in December 2011 to 28.9 percent in February 2012" [1]. 

Disisi lain, fenomena tersebut menunjukan juga jika partai di Indonesia belum mempunyai basis masa yang jelas dan pendukung yang benar-benar loyal. Suara masyarakat Indonesia dalam pemilu masih mudah dipengaruhi dengan kemasan wibawa tokoh/figur dan manisnya janji kampanye. Serta, bukan rahasia lagi, dengan imbalan uang dan materi. Diluar valid tidaknya, diluar pro kontra rilis survey LSI itu (saya belum mempunyai kapasitas menilai keabsahan dan kevalidan data tersebut), saya menilai data LSI ini setidaknya memberikan gambaran dan perspektif kepada saya bahwa: 1. Kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap partai masih rendah; 2. Partai belum mempunyai basis masa, kader, dan pendukung yang jelas dan loyal; 3. Pemilih di Indonesia masih dominan pemilih mengambang atau didominasi oleh mereka yang belum menentukan pilihan; 4. Suara dan dukungan masyarakat Indonesia mudah terpengaruh oleh figur/tokoh dan janji manis kampanye. 

Jumlah pemilih pada Pemilihan Umum tahun 2014, berdasarkan kecenderungan diatas dan data dari pemilu sebelumnya (1999, 2004 dan 2009) pun sepertinya akan mengalami penurunan alias peningkatan jumlah golput (golongan putih). "The trend was based upon official results in the 1999 legislative elections as the number of absentees was recorded at only 6.3 percent, but increased to around 16 percent in 2004. Worse, the number of absentees in the 2009 parliamentary elections increased to 29 percent" [1]. Tahun 1999, jumlah golput 6.3%, 2004 meningkat menjadi 16%, sedangkan tahun 2009 semakin meningkat menjadi 29%. Angka itu rasanya akan terus naik di tahun 2014, jika melihat kondisi, fakta, dan perpektif masyarakat umum terhadap kinerja partai. 

Apa arti dari angka golput yang terus naik tersebut?Bagi saya, angka itu berarti negara ini dalam level siaga 1. Berbahaya. Bagai bom yang siap meledak. Jika suara atau dukungan yang diperoleh partai maupun presiden terpilih tidak didapat dari keikutsertaan seluruh rakyat dalam pemilihan, jika rakyat masih banyak yang enggan memilih, itu berarti kedudukan mereka (sekalipun dinyatakan terpilih) dimata rakyat sangatlah rendah. Bagaimana Anda akan memimpin dengan baik dan benar jika yang Anda pimpin tidak mendukung Anda bahkan acuh terhadap keberadaan Anda?Bagaimana jika negara beserta alat kelengkapannya tidak lagi dipercaya dan dipedulikan oleh rakyatnya?Bubarlah negara itu. Hancur. Angka semakin tingginya golput tersebut jelas dapat menjadi sinyal tanda bahaya kepada penyelenggara negara bahwa rakyat semakin tidak percaya kepada negara dan penyelenggaranya. Rakyat akan memberikan kepercayaan dan dukungan jika memang pengelola negara layak mendapatkannya. 

Bagaimana dengan pemilihan presiden?

Rasanya sama saja dengan pemilihan legislatif, banyak masyarakat yang belum menentukan pilihan. Data LSI menunjukan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum menemukan sosok presiden seperti harapan mereka.  The latest survey by the LSI found that the majority of voters were still undecided about their presidential hopefuls. Undecided voters accounted for 61.6 percent of the respondents" [1]. 

Kandidat presiden 2014 yang santer diberitakan oleh media massa belakangan ini tidak jauh-jauh dari para pemain lama, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie and Wiranto. Namun demikian, ada beberapa nama baru yang terdengar, seperti Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan Dahlan Iskan. Hanya dua nama terakhir ini yang rasa-rasanya masih baru dalam dunia percaturan politik nasional. 

Tingginya masyarakat Indonesia yang masih belum dapat menentukan sosok presiden yang tepat (61.6%), menurut saya, tidak terlepas dari terbatasnya sosok kandidat presiden yang ditawarkan. Bagi saya, dan mungkin masyarakat Indonesia pada umumnya, sosok kandidat presiden yang itu-itu saja rasanya sulit akan mampu membawa perubahan bagi negara dan bangsa ini. Masih jauh dari harapan. Presiden seharusnya adalah agent of change sejati, change maker handal, dan vision-er yang bijak, apalagi pada saat kondisi Indonesia seperti sekarang. Berat rasanya harus menaruh percaya dan dukungan kepada mereka yang, dari track recordnya, begitu-begitu saja. Nothing special. Saya hanya mendengar suara mereka saja, tidak merasakan dampak dari suara itu. Pertanyaan dikepala saya yang masih sama sejak pemilu 2009 sampai sekarang, "Bagaimana saya bisa memilih pemimpin saya jika calon pemimpin saya tidak sesuai harapan saya?". “Bukankah lebih baik saya tidak memilih?”.

Adakah kandidat presiden Indonesia 2014 selain mereka yang itu-itu saja?

Dalam akhir tulisan Burhandin Muhtadi [1], beliau mengatakan:
"If there are only Prabowo, Aburizal and Megawati on the table, more people will stay away from the ballot box in the 2014 election. If the voters’ choice in the upcoming presidential election is limited, there will be no future for Indonesia". 

Artikel Bapak Burhanudin memberikan semacam dukungan dan pembenaran kepada keresahan saya tentang harus tidaknya saya memberikan suara dalam pemilu presiden 2014. Apakah saya akan seperti saat pemilu 2009, dimana saya memutuskan untuk tidak memilih presiden?. Membaca akhir paragraf artikel beliau, muncul pertanyaan lagi dalam kepala saya "Akankah saya memberikan suara di pemilihan presiden 2014?". Rasanya sulit bagi saya untuk mengatakan "saya akan menggunakan hak pilih saya di pemilu 2014", jika kandidat presiden yang ditawarkan kepada saya masih orang-orang lama, bukan sosok seperti yang saya harapkan. Entahlah, kita lihat saja nanti siapa saja calon presidennya. 

Indonesia membutuhkan sosok pemimpin transformasional dan sosok perubahan. Jika tokoh itu akhirnya ada sebagai calon presiden Indonesia 2014, saya tidak akan ragu memberikan suara dan dukungan. 
Indonesia, Maret 2012
by: panca dias purnomo


Footnote:
[1] Burhandin Muhtadi. 2012. More absentees in 2014 legislative, presidential elections?, The Jakarta Post (28/02/2012), http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/28/more-absentees-2014-legislative-presidential-elections.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Jangan Baper - Jangan baper kalau kerja. Hubungan antar manusia di tempat kerja, entah dengan rekan, bawahan atau atasan, gak selamanya baik-baik saja. Hubungan kerja, sa...
    4 tahun yang lalu