Saya masih ingat betul kata-kata seseorang yang mengatakan "Jangan pernah mengaku orang Indonesia jika hanya pernah melihat isi Pulau Jawa saja". Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan bakalan dikasih kesempatan untuk melihat daerah-daerah terdepan di gugusan kepulauan negara Indonesia. Saya dapat melihat realita kehidupan sosial masyarakatnya dan berinteraksi dengan mereka. Ternyata memang benar, ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa terjadi. Ketimpangan itu hampir terjadi disetiap sisi kehidupan: pendidikan, ekonomi, kesejahteraan, teknologi, dan lain sebagainya. Sangat miris. Ironis. Menyesakkan. Negara yang begitu luas dengan taburan pulau-pulau nan cantik didalamnya ini ternyata jika boleh diibaratkan seperti manusia yang (maaf) cacat fisiknya. Kepalanya besar seperti terkena tumor, sedangkan badan, kaki, dan tangannya kecil sehingga manusia ini kesulitan berjalan apalagi berlari. Terlalu berat beban kepalanya. Kepala itu ibarat Jawa, sedangkan bagian tubuh yang lain adalah luar Jawa.
Bagi Anda yang sejak kecil dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Jawa, pastinya Anda hidup dalam lingkungan yang mempunyai segalanya. Artinya akses menuju ke sumber-sumber kesejahteraan, teknologi, pendidikan, dan sisi kehidupan lain adalah mudah. Hidup di Pulau Jawa, pasti Anda sudah terbiasa dengan listrik dan teknologi. Saat gelap, nyalakan lampu listrik. Saat ingin mandi, nyalakan pompa air. Saat haus, tinggal ambil air dari kulkas. Saat ingin menelfon, Anda tinggal pencet nomor dan menelfon. Saat ingin belanja di pasar, Anda tinggal menaiki sepeda motor Anda atau naik angkot, 10 menit sampai. Warung juga sangat dekat, tinggal jalan kaki. Akses kesemua kebutuhan hidup sebagian besar daerah di Pulau Jawa sangatlah mudah. Semuanya serba mudah, serba ada, serba tersedia. Beruntung sekali Anda dan saya dilahirkan di Pulau Jawa.
Tapi, apakah Anda atau kawan-kawan pernah membayangkan, bahwa ternyata masih ada di era modern seperti sekarang, masyarakat yang belum tersentuh atau sedikit tersentuh teknologi dan modernitas?. Pernahkah Anda tahu?. Anda ingin menyalakan lampu, belum tentu ada listrik. Tidak ada listrik atau ketersediaan listrik sangat minim. Listrik saja susah, apalagi sinyal HP, televisi, dan internet?yaa jelas makin susah. Bayangkan jika Anda harus mencari sinyal profider keatas bukit hanya untuk menelfon. Hampir semuanya serba terbatas. Pendidikan, layanan masyarakat, perbankan, semuanya juga sangat minim.
Jika Anda tidak mau membuka mata melihat betapa luasnya Indonesia, maka saya rasa, sulit bagi Anda mengetahui realita masyarakat Indonesia didaerah-daerah terdepan sana. Buka mata Anda, lihatlah. Indonesia tidak cuma Pulau Jawa, tapi masih ada 17.000 pulau lainnya disini. Hidup di Jawa adalah suatu kenyamanan. Sesuatu yang nyaman terkadang susah membuka kesadaran kita akan kondisi di sekeliling kita. Buka mata dan carilah tahu dengan keluar dari kenyamanan kita. Kemudian, semoga, Anda akan terbelalak dan sadar bahwa negara ini telah lama menjerit memanggil kontribusi kita. Tapi mengapa kita masih saja egois dengan hanya mementingkan diri sendiri?.
Kawan, ini cerita saya:
Saya pernah mengikuti program Kapal Pemuda Nusantara (KPN)
pada bulan Juli-Agustus 2010. Kami berlayar dengan rute Jakarta-Makassar-Pulau
Banda-Ambon-Wakatobi-Kendari. Kami melihat dan bersosialisasi secara langsung
dengan masyarakat di pulau yang kami singgahi.
Kami menginap satu hari di Pulau Banda, salah satu pulau
terdepan yang sangat indah yang dimiliki oleh Provinsi Maluku. Disana saya
melihat dan bersosialisasi secara langsung dengan aktivitas masyarakat lokal
Pulau Banda. Disatu sisi hati saya, saya merasa bangga dan makin cinta dengan
Indonesia karena betapa Indonesia mempunyai keragaman suku, bahasa, dan budaya
yang sangat besar namun tetap harmonis dan erat.
Namun disatu sisi hati saya, saya ingin berteriak dan
menangis ketika mengetahui realita sisi kehidupan yang lain di pulau ini.
Bahwa, ternyata, disini, di pulau yang begitu indah, ramah, dan kaya ini,
kualitas hidup masyarakatnya masih berada jauh dibawah masyarakat kota,
terutama masyarakat di Pulau Jawa. Sungguh Ironis. Banyak anak-anak Pulau Banda
yang tidak bersekolah, meski hanya SD, karena mereka belum mengerti arti
pentingnya pendidikan. Mereka malah lebih giat membantu orangtua mereka mencari
ikan di laut. Insfrastruktur pendidikan di Pulau ini juga sangat
memprihatinkan. Gedung sekolah banyak yang tampak sangat usang dan tidak
terawat. Saya meyakini betul bahwa pendidikan adalah fondasi dasar dalam
membangun kesejahteraan dan peradaban masyarakat yang maju dan besar. Bagaimana
masyarakat Pulau Banda dapat maju dan sejahtera jika kondisi pendidikannya
seperti ini?. Kemudian saya berpikir dan merenung, apa yang bisa saya lakukan
dan kontribusikan?. Saya tidak pernah membayangkan bahwa jauh dari tempat tinggal saya, masih ada masyarakat yang semuanya serba terbatas.
Kemudian kami melanjutkan pelayaran ke Kabupaten Wakatobi di
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kami tinggal 3 hari disana. Wakatobi adalah pulau
yang sangat indah dan kaya akan sumber daya laut. Banyak turis asing datang
ketempat ini. Namun di Wakatobi justru yang ada hanyalah keprihatinan saya
terhadap kondisi negara ini yang semakin besar. Bahwa ternyata di salah satu
daerah terpencil di negara ini, kondisi masyarakatnya sangat jauh tertinggal.
Setiap pagi, bukan pemandangan kerumunan anak-anak yang riang gembira berangkat ke sekolah, namun malah kerumunan
anak-anak yang sedang asik bermain. Saya bertanya kepada salah seorang penduduk
"Pak, kok mereka gak pada sekolah?". Jawab bapak itu "Anak-anak
disini gak bisa sekolah mas". Deg!, seketika itu, ingin rasanya saya
menangis, mengapa di dunia yang sudah sangat maju seperti ini, masih ada
masyarakat yang belum tersentuh pendidikan. Saya berpikir dan merenung kembali,
apa yang bisa saya lakukan?. Saya semakin prihatin, ternyata diluar kehidupan saya di Jawa, masih banyak masyarakat yang hidup dengan keterbatasan dan kesulitan mengakses fasilitas negara. Sekolah saja susah, bagaimana negara ini bisa maju.
Kemudian di awal tahun 2011, saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Desa Sruni, di dekat kaki gunung Merapi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kami
mengadakan berbagai macam kegiatan, salah satu kegiatan intensif yang kami
lakukan adalah mengajar di sekolah dasar. Saya turut membantu mengajar siswa
kelas 6 di SD N 02 Sruni setiap sore. Keprihatinan saya terhadap kualitas
pendidikan di negara ini tumbuh semakin besar setelah saya terjun langsung
membantu mengajar di SD tersebut. Bayangkan, jumlah guru di SD itu cuma ada 5
orang. Waktu bermain dan istirahat siswanya jauh lebih banyak dibandingkan
waktu belajar mereka di kelas. Siswa kelas 6 banyak yang belum mengerti materi
kelas 3. Ini realita di desa terpencil di Pulau Jawa, lalu bagaimana dengan
desa terpencil di luar Pulau Jawa? Jawabannya jelas: makin memprihatinkan. Sungguh memprihatinkan.
Apalagi jika Anda merasakan sendiri atmosfer kehidupan di negara maju. Anda akan semakin prihatin dengan kondisi kesejahteraan dan kualitas hidup di negara ini. Bukan justru benci yang muncul, tapi justru semangat menggelora untuk memajukan negara sendiri minimal sama sejahteranya seperti mereka di negara maju. Saya pernah sempat berpikir, mengapa jaraknya seperti langit dan bumi. Jauh sekali. Tapi justru itu yang membuat semangat nasionalisme bisa membumbung tinggi setelah mengetahui kehidupan di negara maju. Modernitas memang tidak semuanya harus seperti negara Barat yang maju itu. Menerapkan modernitas dengan prinsip dan filosofi diri sendiri juga bisa. Modernitas menurut saya adalah sejahtera, maju, dan beradab. Modernitas juga adalah kemudahan dalam mengakses semua lini kehidupan ini dan tentunya berkualitas.
Diam dan menyalahkan tidak akan berbuah apa-apa. Lakukan sesuatu. Jangan cuma berorientasi untuk diri sendiri. Berikan apa yang bisa Anda berikan untuk masyarakat dan negara ini. Mereka menunggu kontribusi Anda. Apalagi Anda yang telah menjadi sarjana. Jangan picik dan egois. Seluruh rakyat Indonesia juga mempunyai andil dalam membantu Anda meraih gelar sarjana. Ingat subsidi pemerintah untuk biaya pendidikan tinggi juga diambil dari pajak negara yang dibayarkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Menjadi sarjana bukan berarti kemudian dengan mudahnya Anda bisa memperkaya diri sendiri, tapi disana ada tanggung jawab moral untuk memajukan dan menyejahterakan masyrakat dan bangsa ini. Buka mata dan rasakan, negara ini membutuhkan kontribusi kita semua dengan berbagai cara yang kita mampu dan bisa. Jangan cuma diam dan menyalahkan. "Daripada menyalahkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin" (Anies Baswedan).
Sarjana berarti adalah pengabdian yang lebih kepada masyarakat dan negara di tengah-tengah kondisi bangsa kita yang timpang dan susah berjalan seperti ini.
-Catatan Perjalanan Hidup-
Sepakat, Ca ^^
BalasHapuskemajuan berbagai daerah di Indonesia memang belum merata..
An juga mendapatkan berbagai kisah inspiratif dari
diklat nasional yang sedang An ikuti saat ini..
tingkat kemajuan suatu daerah tak akan terlepas dari kebijakan pemerintahnya dan kualitas sumber daya yang terdapat di dalamnya..
Sip, semangat An membangun negara bangsa kita..^^
HapusSetelah Buka Mata, Buka Hati, Kemudian Berbakti :-)
BalasHapusMatur nuwun mas ustadz atas kunjungan dan komentarnya.. :-D
HapusTerimakasih mbak atas kunjungan dan komennya..
BalasHapusUniversitas sering dianggap menara gading ilmu pengetahuan. Sarjana dan karya2nya cuma dinikmati oleh golongan kelas atas saja. Padahal realita negara kita mayoritasnya adalah daerah2 terpencil yang butuh karya real dan nyata. Skripsi, karya ilmiah, apakah benar2 berguna bagi mereka yg ada di pelosok sana?. Karenanya kalau sudah jadi sarjana jangan egois ya.. ;-D