Every journey always begins with one step, Semua perjalanan bermula dari satu langkah kaki ....

Senin, 28 November 2011

Masih Lestarinya Budaya Buruk Kolonial di Negara yang Sudah Merdeka

Hari ini sebenarnya aku berencana untuk berkunjung ke balai benih udang galah di Pelabuhan Ratu, kabupaten Sukabumi guna melihat aplikasi biofloc pada budidaya udang galah secara langsung. Aku memberi tahu pak dasu melalui sms pagi tadi, bahwa aku akan kesana, namun ternyata beliau sedang ada acara di rumah pegawai balai yang satu minggu lalu meninggal dunia akibat terkena sengatan listrik.

Takut mengganggu, akhirnya aku putuskan membatalkan perjalanannya ke Pelabuhan Ratu. Aku cukup berjalan-jalan saja mengelilingi Kota Sukabumi. 

Aku mengelilingi kota Sukabumi dengan menaiki angkot dan berjalan kaki. Aku tidak tahu pasti daerah mana saja yang aku kunjungi, aku berpikir jika semua  angkot di Kota Sukabumi ini nantinya pasti akan kembali ke pasar Sukabumi, maka aku memberanikan diri menaiki sembarang angkot. Aku naik angkot berwarna kuning, angkit itu menaiki jalanan tanjakan sampai ke perumahan padat penduduk dengan jalannya yang tidak terlalu bagus. Aku sampai lagi di pasar Kota Sukabumi. Tidak terlalu jauh ternyata rute angkot yang aku naiki itu, pikirku. Kota Sukabumi memang kecil, jadi jalan raya dalam kota tidak terlalu jauh. 

Aku berjalan menyusuri pedestrian dipinggir jalan raya pasar Kota Sukabumi yang tampak ramai oleh berjubel manusia. Kota Sukabumi, dihari minggu, memang ramai dipadati orang-orang yang ingin berbelanja atau sekedar berjalan-jalan biasa. Aku terus berjalan tanpa aku tahu pasti aku akan menuju kemana dan sebenarnya aku tidak tahu rute jalan yang aku ambil. Aku hanya asal berjalan. Aku yakin aku akan kembali ketempat dimana aku sangat hafal rute jalan pulang karena aku percaya jalan di Kota Sukabumi ini tidak terlalu membingungkan. Jalan kemana saja, kalau tahu asal mula jalannya, pasti akan kembali lagi ketempat semula, karena memang mudah ditebak dan tidak terlalu besar ukuran kota ini.

Tidak aku tahu sebelumnya bahwa, ternyata, jalan yang aku pilih ini menuju ke pasar tradisional Kota Sukabumi. Aku melewati padatan pedagang yang berjualan di lapak kayu yang terletak persis dipinggir jalan. Aku mencium bau khas pasar tradisional. Baunya sama seperti hampir disemua pasar di Indonesia. Bau yang tidak menyedapkan hidung. Lautan angkot diparkir disana-sini. Berantakan. Ratusan orang berjalan di pinggir jalan. Debu berterbangan bercampur bau yang tidak sedap, membuatku harus menutup hidung dengan jaket sepanjang perjalanan melewati pasar itu. 

Aku melewati stasiun kereta api Kota Sukabumi yang terletak didepan rentetan kios pedagang pasar. Ternyata aku baru tahu jika stasiun kereta Kota Sukabumi terletak didekat pasar ini. Menurut kakak tingkatku yang sudah bekerja di Sukabumi, stasiun ini melayani penumpang satu kali sehari, yaitu jam 5 pagi hanya menuju bogor. Selebihnya tidak ada jadwal ke kota lain. Bangunan stasiun itu sangat mirip dengan model stasiun kebanyakan di seluruh stasiun yang pernah aku lihat, terutama mengingatkanku akan stasiun kereta api di kabupatenku, stasiun Purworejo. Model bangunannya sangat identik sama, arsitektur Belanda, dengan jendela dan pintu besar menyapa didepan bangunan. Aku cukup yakin bahwa stasiun ini dibangun oleh Belanda pada zaman kolonial dan masih digunakan sampai sekarang. Di negeriku ini memang masih banyak gedung atau bangunan peninggalan Belanda yang masih digunakan sampai sekarang, seperti stasiun kereta, kantor, sekolah, gereja, beberapa jembatan dan rel kereta.

Meskipun aku tidak mengalami secara langsung jaman pendudukan Belanda yang berlangsung 350 tahun itu, betapa aku sangat benci dengan sikap mereka dulu ketika menjajah negaraku dimana kisah-kisah itu aku baca dari buku karya Pramoedya Ananta Toer, Muh. Hatta, Tan Malaka, Soekarno, dan beberapa cendekiawan Indonesia kontemporer. Segala insfrastruktur yang ditinggalkan belanda di Indonesia menurutku tidak bisa menebus segala dosa yang telah mereka torehkan kepada seluruh nenek moyangku dulu, bahkan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Karena taktik penjajahan para menir itulah, sampai sekarang aku masih merasakan budaya pesimis, tingkatan sosial, budaya ngemis, tidak percaya diri, dan terlalu mengagungkan budaya dan produk asing. Warisan kolonial itu masih aku rasakan sampai sekarang. Rakyat Indonesia masih tenggelam dalam budaya kolonial walaupun mungkin banyak yang belum sadar akan hal itu. 

Selesai berkeliling kota, aku sholat dzuhur di masjid agung Kota Sukabumi yang terletak di sebelah barat Lapangan Merdeka. Masjid dengan arsitektur yang cukup modern dan mewah. Meskipun tidak sebesar masjid agung dikabupatenku, tapi sangat ramai dipadati para jamaah. Kemudian aku berpikir sepanjang jalan setelah aku selesai sholat di masjid agung tentang budaya buruk kolonial yang masih subur lestari di negaraku sampai sekarang.

Di masyarakatku ini, aku masih bisa menemukan dengan sangat mudah dimana setiap pejabat Negara ingin dihormati dengan sehormat-hormatnya oleh rakyat kebanyakan. Mereka seolah-olah merasa sebagai orang yang layak disembah. Parahnya rakyat kebanyakan pun melestarikan budaya itu. Coba bisa dilihat saat ada acara pejabat turun kedesa maupun saat ada acara resmi pemerintah, masyarakat kebanyakan menunduk takzim, menunduk setunduk-tunduknya kepada para pejabat ini. Masih nampak terlihat adanya perbedaan kelas sosial di negaraku ini, antara pejabat dengan rakyat biasa. Hal itu pula yang kemudian membuat seolah-olah pejabat Negara berada diatas hukum dan rakyat kebanyakan harus tunduk kepada hukum. Sering aku baca berita bahwa dinegaraku ini, banyak sekali kasus jual beli hukum, rekayasa hukum, dan segala macam penyimpangan hukum yang dilakukan oleh pejabat Negara atau orang-orang kaya. Budaya seperti itu juga yang terjadi saat jaman kolonial belanda, dimana para bumiputera (orang pribumi) dapat dihukum semena-mena, sedangkan para golongan ningrat dan menir belanda bisa duduk manis di rumah mereka. 

Aku teringat isi buku Biografi Soekarno yang menyebutkan bahwa Belanda memang dengan sengaja memperlakukan masyarakat pribumi Indonesia seperti budak, bahkan hewan piaraan. Mereka di ludahi, dicaci, dihina dan dianiaya. Belanda memang ingin membuat para kaum pribumi merasa rendah diri, merasa menjadi bangsa yang rendah. Nyatanya, sampai sekarang tujuan Belanda itu, meskipun sudah lama pergi dari Indonesia, masih terasa hingga kini.

Para kaum rakyat biasa di negaraku ini masih sangat terbatas mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan, tapi coba lihat para pejabat dan golongan kaya di negaraku, mereka dengan sangat mudah mengakses itu semua. Itu pun juga budaya yang dilestarikan sejak jaman kolonial, dimana setiap anak ningrat, bendoro, juragan, dan pejabat pemerintah orang bumiputra bisa mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak sedangkan rakyat kebanyakan hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Belanda menggunakan sistem kelas sosial itu untuk melestarikan penindasan mereka. Para ningrat dan bumiputera dari golongan pejabat pemerintah diberi kedudukan dan membuat mereka tidak segan menindas rakyatnya sendiri hanya karena jabatan dan uang. Budaya seperti ini masih bisa dijumpai sekarang. Menyedihkan!. Satu pilar yang membuat eropa menjadi peradaban yang maju dan sejahtera seperti sekarang adalah karena budaya meritokrasi yaitu semua orang adalah sumber daya potensial sehingga di masyarakat mereka diberi kesempatan yang sama (sebanyak mungkin) untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Ringkasnya, meritokrasi adalah sederajat. Kebalikan di negaraku, kelas sosial dan tingkat sosial masih terasa sekali, dan parahnya budaya seperti ini masih terus saja dilestarikan oleh para pemimpin Negaraku mulai dari tingkat desa sampai pusat. 

Coba lihat pernikahan putra presiden negaraku yang beberapa hari lalu perayaannya memadati seluruh televisi. Acara pernikahan itu benar-benar super mewah, berlangsung tidak cukup hanya satu hari, bahkan menyewa gedung Jakarta Convention Centre (JCC) untuk resepsi dan mengundang 3500 tamu undangan. Jujur, aku sangat muak dengan pemberitaan di televisi yang menyiarkan acara itu. Meskipun presiden mengatakan acara pernikahan itu adalah dari uangnya sendiri (it’s oke, tapi bukan itu masalahnya bung!). Sebagai seorang pemimpin utama Negara ini, menurutku, sungguh sangat tidak pantas dia mengadakan acara super mewah seperti itu dengan menelan biaya milyaran rupiah ditengah-tengah kondisi mayoritas masyarakat yang masih diselimuti awan gelap ketidakjelasan akan hidup. Acara yang justru semakin membuat masyarakat sosial negaraku terpisah jauh, membuat jurang pemisah yang panjang dan lebar antara pejabat, orang kaya, dengan mayoritas rakyat negaraku yang kekurangan. Luar biasa! Itulah presiden negaraku. Budaya non-meritokrasi yang jelas-jelas dilestarikan oleh presiden negaraku sendiri. Harusnya ditengah kondisi masyarakat saat ini, kesederhanaan dan semangat perjuangan yang harus dicontohkan oleh pemimpin negaraku, bukan justru melakukan pesta besa-besaran seperti itu dengan dalih itu uang dari kantong sendiri. Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad  saja bisa menikahkan anaknya dengan pesta pernikahan sewajarnya saja, mengapa seorang presiden muslim negaraku ini justru memberikan contoh kebalikannya?Sungguh keterlaluan.  

Sampai kapan budaya kolonial ini akan hilang dari negaraku?Kapan masyarakat negaraku ini akan berderap maju menuju modernisasi dan kesejahteraan, seperti yang diimpikan oleh para pendiri Negara Indonesia?Jika para pendiri Negara ini masih hidup dan melihat realita masyarakat dan pemerintah sekarang, aku berani menggaransi pasti mereka akan menangis melihat bangsa dan Negara yang selama ini mereka perjuangkan ternyata jauh dari cita-cita awal pendiriannya. Para pendiri bangsa mengidamkan prinsip keadilan bagi seluruh rakyat, tapi sekarang kemakmuran, kesejahteraan, pendidikan, justru hanya dinikmati segelintir orang saja di Negara ini. Para pendiri bangsa mengidamkan prinsip self-help (mandiri) dalam membangun Negara dan bangsa, tapi saat ini, negaraku sangat tergantung dengan bantuan dari pemerintah Negara lain, bahkan kita dibuat mengemis-emis dinegara kita sendiri. Lebih ironis lagi, ratusan juta orang Indonesia dikirim ke luar negeri, dipekerjakan disana, diperas keringatnya disana, yang justru mengesankan bahwa negaraku adalah Negara budak, negara pembantu. Menyedihkan!. Para pendiri Negara kita mengidamkan politik luar negeri yang bebas dan aktif, tapi nyatanya politik luar negeri kita tidak lebih sepeti kerbau yang dicocok hidungnya, yang mengekor kepentingan Negara kuat. Betapa lemahnya peran negaraku Indonesia dalam menyikapai isu-isu kemanusiaan, baik dalam negeri maupun luar negeri padahal pendiri bangsa ini memimpikan kemanusiaan yang adil dan beradab. Lihatlah, betapa sangat jomplangnya pembangunan masyarakat dinegara ini. Bahkan ada beberapa daerah yang menginginkan merdeka. Rakyatnya dipukuli, disiksa, dan diintimidasi oleh para polisi dan tentara. Dimana nilai kemanusiaan yang jelas ada di dasar falsafah Negara ini?Ketika ada pembantaian manusia di bumi ini atas nama peperangan melawan teroris, dimana suara lantang Negaraku membela kemanusiaan?nyaris tidak terdengar. 

Secara de facto dan de jure, negaraku ini memang sudah merdeka. Sudah diakui sebagai negara berdaulat 66 tahun lamanya. Lepas dari cengkraman imperialis barat secara fisik, tapi secara mental dan budaya (culture), masyarakat negaraku dan bahkan pemerintah negaraku masih terjajah, belum merdeka. 

Sebagai rakyat biasa yang tidak tahu menahu tentang pemerintahan, aku merasa sangat sedih melihat realita negaraku seperti ini. Negaraku sepertinya butuh seorang tokoh yang kokoh dan kuat, serta layak menjadi contoh yang bisa memimpin negaraku menuju modernitas, kemakmuran, dan pemerataan di segala bidang bagi seluruh rakyat. Seperti Deng Xiaoping, presiden China yang menjadi pemimpin besar China menuju kemajuan pada tahun 1989, Jawahalrar Nehru di India pada tahun 1950-an, seperti Lee Kwan Yew pada tahun 1960-an yang memberi dasar kemajuan bagi Singapura, Kaisar Meiji di Jepang pada tahun 1800-an yang berhasil membangun pondasi dasar kemajuan Jepang, dan pemimpin visioner seperti Soekarno yang pernah dimiliki oleh bangsa ini pada tahun 1940-an. Semoga akan lahir kembali pemimpin baru di negaraku yang mewarisi visi dan semangat seperti mereka sehingga dapat memimpin negaraku ini menyibak awan gelap yang masih saja menyelimuti, menuju jalan masa depan yang lebih terang dan cerah. Semoga aku masih hidup ketika pemimpin itu memimpin negaraku. Aku ingin menjadi saksi mata akan kemajuan negaraku, serta aku ingin pula menjadi saksi mata akan munculnya kebangkitan kesadaran berislam dan berketuhanan  di bumi ini. 

Bela sungkawa dan keprihatinan untuk hati nurani pemimpin negaraku yang masih tertutup awan gelap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read Also

  • Keluarga - Hidup itu akhirnya adalah tentang membuat prioritas dan memilih, Semakin tua usia kamu, semakin kamu makin tau apa yang benar-benar prioritas untukmu, unt...
    7 bulan yang lalu